Ilmu adalah hewan liar, maka ikatlah dia dengan tulisan<\marquee>

Rabu, 03 Agustus 2016

Cerita filsafat dalam Hidup kakak


Nama: Zubir Alfiansyah
Prodi: Ilmu Al Quran dan Tafsir
Tugas: UAS Filsafat Ilmu

Filsafat dalam hidupku


Badan yang kini terus tumbuh, tak tahu siapa yang membuat ia tumbuh sedimikian rupa. Aku dulu hanyalah seorang bayi yang tak berdaya, terkulai lemah, dan hanya bisa menangis serta tertawa. Namun, sungguh ini sebuah kenyatan yang harus aku alami dalam perjalanan hidup. Aku yang kini bukan lagi seorang bayi dengan tubuh lemah dan senyum indah serta hanya ada kedua orang tua disisiku. Sekarang aku harus menghadapi sebuah kenyataan bahwa aku hidup bersama orang yang tak aku kenali sebelumnya.
Waktu sungguh sangat cepat berlalu
, antara siang dan malam pun aku tak tahu. Umur yang kini telah menginjak hampir 20 tahun telah dilengkapi dengan otot serta masalah yang datang silih berganti. Selalu saja terbesit dipikiranku, “Mungkinkah aku bisaa mengembalikan masa indah dengan senyum dan tawa tanpa dosa di wajah ini”? Tapi itu sungguh tak mungkin. Daging yang kini menempati tulang-tulangku ia  telah tumbuh dan tak bisa kembali, ia terus saja berkembang seraya waktu terus menyapaku. “Waktu” mungkinkah ia yang membuatku begini atau alam ini yang membuatku terus berkembang pada fisikku hingga akhirnya nanti tubuhku kembali lemah dengan otot-otot yang mulai mengendor, kulit keriput serta senyum yang tak seindah seperti sekarang lagi atau ada sebuah kekutan besar yang sebenarnya sedang mengendalikan diriku serta alam semesta ini sehingga aku serta apa pun yang kulihat tumbuh sesuai rupanya.
lihatlah! Aku hanya tumbuh 167 cm saja dan ada juga yang mempunyai bentuk persis seperti diriku dan rata-rata antara 145-190an saja. Namun, sungguh aneh disekitar diriku selain aku ada juga sesosok makhluk yang memiliki rupa yang sama sepertiku ada makhluk lain yang memiliki rupa tak seperti diriku disebut pepohonan ia dapat tumbuh melebihi diriku sehingga ketika aku ingin melihatnya aku harus menengadahkan kepalaku ke atas.
            Sungguh lucu rasanya jika aku teringat pada masa-masa silam yang telah mengantarkanku pada keadaan tubuh yang seperti ini. Siapakah dia yang mampu melakukan semua ini pada tubuh yang memiiki jutaan sel, pertanyaan  ini lagi yang muncul pada benakku. Apa mungkin banyak orang yang seperti diriku memiliki pertanyaan seperti ini pula, mungkin saja dengan bumi yang begitu luas seperti ini serta sesuatu yang ada pada diri seorang manusia yang selalu mengajaknya jauh melebihi tubuh yang terbatas ini.
             
            Tubuh ini sungguh luar biasa dengan sistem yang tak ada matinya yang akan berakhir jika sel-sel pada tubuh ini tak mampu lagi menampung seonggok daging dan tulang yang melekat padanya. Aku merupakan salah satu dari jutaan manusia yang juga terlahir dengan anggota tubuh yang lengkap beserta indera yang sempurna: mata yang dapat melihat, telinga yang dapat mendengar, mulut yang dapat berbicara, telinga yang dapat mendengar, tangan yang dapat merasakan, kaki yang membuatku berpindah dari satu tempat ketempat yang lain, masih banyak lagi kegunaan dari indera-indera ini. Namun, sering terbesit pada benakku tentang sesuatu yang  menggerakkan tubuh ini, Apakah aku yang sebenarnya adalah tubuh dengan seonggok daging ini atau ada diriku  yang lain dibalik ini semua.
            Belasan tahun telah aku lewati siang dan malam terus saja bergantian tanpa saling tertukar satu sama lainnya. Alam yang menemaniku pun kini teus bergantian dari suasana yang indah nan sejuk. Dan sekarang bertukar menjadi gedung-gedung tinggi serta udara yang menyesakkan dada. Tubuhku pun telah bertukar dari kulit yang tipis kini menjadi tebal dan tak sehalus dulu semasa bayi. Sebuah proses panjang yang menghabiskan waktu hingga belasan tahun.
            Semua indera diriku pun telah bekerja sesuai kemampuanya masing-masing. Namun, sungguh sangat disayangkan sehingga tak terbayangkan dibenak diriku bahwa semua fungsi inderaku hanyalah terbatas oleh ruang dan waktu. Ia hanya sanggup menggapai sesuatu yang dapat dilihat, dirasa, diraba, dan dicum tanpa mampu menjelaskan sesuatu yang lebih daripada yang dapat ia rasakan itu.
            Sungguh sebuah fenomena besar yang terjadi pada tubuh ini, kecil tapi membutuhkan penjelasan yang panjang untuk merincinkan kejadian padanya. Mulai dari dapat tumbuh dan berkembang hingga sistem pencernaan yang semakin membaik. Jika aku bayangkan sungguh luar biasa tubuh ini setiap menitnya diserang oleh ribuan virus dan penyakit tapi ada sesuatu yang bersifat tameng yang melindung tubuh ini sehingga ia tetap sehat dan bugar.
            Jika aku melihat pada tubuhku ini yang telah berubah sesuai masanya, sempat terpikir olehku “siapa diri ini sebenarnya”. Aku hanyalah seonggok daging yang menyelimuti tulang belulang dengan bentuk yang sama, jika aku melihat pada makhluk yang persis seperti diriku. Namun, jika aku melihat makhluk yang tak persis seperti diriku tapi ia juga disebut juga dengan sebutan Manusia, ia memiliki tubuh yang hampir sama seperti diriku tapi memiliki kekurangan mulai dari pendengaran, penglihatan, ataupun untuk berjalan. Apakah semua itu memiliki hikmah tersendiri atau ada rahasia dibalik rahasia, entahlah aku belum memiliki kemampuan menjawabnya.
            Perjalanan kehidupan dirikupun dimulai pada saat ini. Aku yang awalnya hanyalah seseorang dengan tubuh yang lemah serta pemikiran yang masih mengharapkan kesengangan saja tanpa memikirkan ada rasa yang lain yakni sedih. Aku teringat pada pertanyaan-pertanyaan yang dulu sempat aku lontarkan kepada guru mengajiku mengenai Alam semesta ini. Bahkan aku sempat menanyakan tentang Tuhan pada guruku, semua pertanyaan mengenai ini telah aku lontarkan sejak aku menginjak sekolahh mengeah pertama (SMP). Namun, sungguh membuat aku jenuh pada saat itu pertanyaan aku hanya dijawab “kamu belum waktunya berpikir seperti itu nanti kamu bisa menjadi musyrik” itu jawaban dri guru mengajiku. Sungguh jawaban itu membuatku berhenti untuk mempertanyakan seputar alam dan ketuhan pada siapapun, bungkam saja dan menutupi diri itu yang aku pilih sejak saat itu.
            Hari demi haripun terus saja berputar hingga suatu hari aku bertemu dengan para teman-teman yang senang melakukan pencarian kesejatiaan diri. Bisa disebut mereka pecinta “Ma’rifat” pemekiran mereka kembali mempengaruhiku untuk mempertanyakan tentang suatu hal yang sangat dasar mengenai  Tuhan dan Alam, tentang keterkaitan alam dan manusia. Semua itu mereka lakukan dengan berdzikir dan berpikir. Terkadang aku tak mampu menjawab pertanyaan yang mereka lontarkan padaku.
Hingga pada suatu hari tepatnya ketika kelulusan sekolah dimulai. Aku awalnya tak terpikir akan terdampar di STFI sadra. Ketika ujian sekolah Madrasah Aliya selesai keesokan harinya aku langsung saja berangkat ke Palembang yang merupakan ibu kota SUMSEL, sekitar 8 jam dari tempatku. Sampai disana aku hanya berpikir untuk bekerja, ikut dengan sepupuku di Kantor pengiriman barang. Sudah tepat 1 bulan aku disaana kelulusan sekolahpun diumumkan. Aku hanya bisa melihat melalui Website MAN 1, dan LULUS satu kata yang aku lihat berdampingan bersama namaku.
            Setelah itu barulah aku dikabari oleh seseorang yang tak lain adalah orang yang paling denganku. Ia memberi tahu mengenai STFI sadra. Aku baru mendengar mengenai sekolah ini. apa itu filsafat? pertanyaan ini datang ketika melihat dari nama sekolah tinggi ini. itulah awal aku mulai mencari tahu kata yang berjulukan akar dari semua keilmuan yakni Filsafat.
            Tak lama setelah itu aku sudah berada di Jakarta tempat sekolah inipun berada. Dan seiring berlalunya waktu ternyata semua pertanyaan yang sempat aku pertanyakan dahulu merupakan bagian dari filsafat. Namun, sungguh aneh ketika sebelum aku berada disini semua orang-orang tua ketika mendengar aku ingin ke sekolah ini mereka kaget, karena kata filsafat itu sendiri. Ada yang mengatakan “ae dak ke sholat lagi kau menlah kenal filsafat, “weh berat itu pening palak”, “ai tengoklah kau gek caknyo ngeremeke syariat gek cubo lah” (dalam bahasa sumsel), dan masih banyak lagi aku yang belum tahu apa-apa mengenai filsafat itu sendiripun Cuma bisa diam saja.
Tapi semua pernyataan yang pernah aku dengar sebelum berada ditempat ini mengenai filsafat sendiri terjawab akhirnya. Itu semua hanya cara berpikir yang salah yang telah melekat pada masyarakat. Jika saja pola pikir itu dirubah pasti tak ada yang takut ketika mendengar kata filsafat. layaknya ketika tahun pertama saya di sadra dan kemudian saya pulang untuk mengambil ijazah. Setelah itu saya diajak oleh guru saya utnuk menemaninya ke sebuah desa yang cukup jauh dari tempatku. Kemudian saya berjumpa pada seorang sebut saja ustad di daerah itu. Ia mengajakku mengobrol hingga akhirnya ia menanyakan “sekolah dimana?” di sekolah tinggi filsafat islam jawabku. Ustad itupun senyum-senyum saja lalu ia mengatakan “ saya pernah berdebat dengan orang filsafat” apo yo, kataku. Ustad itu mengatakan orang filsafat itu aneh ya masa ia samakan ka’bah dengan batu biasa. Kok bisa begitu kata saya. Saya yang hanya baru menghabiskan masa di bogor saja untuk belajar bahasa arab sewaktu di Jakarta, ya hanya menjawab seadahnya saja. Inilah sebuah pemahan yang salah sebenarnya mengenai filsafat.
Sungguh ironis jika aku mengingat masa dahulu dimana saat aku sering mempertanyakan sesuatu tapi malah dijawab dengan jawaban yang membuat aku berhenti mempertanyakkan hal-hal yang mendasar, yang pada akhirnya aku sadar bahwa pertanyaanku dahulu juga pernah dipertanyakan oleh para filosof terdahulu, ini smeua aku ketahui setelah berada di sini.
            Mungkin Tuhan mempunyai rencana yang besar sehingga saya dimudahkan untuk bertemu dengan sekolah tinggi ini. Ditempat ini aku bebas mempertanyakan apapun tanpa takut untuk di tertawakan ataupun di cemooh. Ditempat inilah yang memperkenalkanku mengenai filsafat dan mengajarkanku untuk berani berpikir mandiri.
            Satu hal lagi yang belum aku ketahui sejak dahulu yang hingga membuat saya berpikir apakah semua tentangnya telah ditutup rapat didaerahku atau memanag banyak yang yang tidak mengetahuinya. Yakni tentang sebuah aliran mazhab yang bernama Syiah, nama ini baru aku kenal ditempat ini. Awalnya aku hanya tahu dari buku pelajaran mengenai syiah tanpa tahu bahwa di Indonesia ia ada, ajarannyapun baru ku kenali disini bahkan konfliknya semua itu baru aku ketahui disini.
            Memang jika dilahat berfilsafat itu tak memandang usia jika kita melihat pada definisi filsafat itu sendiri yakni cinta kebijaksanaan, yang dalam artian mencari sesuatu pada yang dasar. Namun, untuk menggapai itu semua diperlukannya akal untuk berperan aktif padanya. Jika dilahat pada saat ini sungguh pantas jika banyak yang tidak mengetahui filsafat dan tak mau berfilsafat karena filsafat menggunakan akall dan akal bersifat non materi sedangkan sekarang manusia lebih dekat pada satu hal yang disebut materi. Apa yang dilihat lebih diercayai darpada sesuatu ang hanya bualan belaka. Doktrin-doktrin semua ditelan mentah-mentah dan mengesampingkan pemikiran yang bersifat membebaskkan diri dari doktrin-doktrin tersebut.

            Jika dilihat dari semua kisah yang baru saja saya paparkan, bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya ketika kita berusaha mempertanyakan sesuatu dan mencoba menanyakan pada orang yang lebih tua. Seperti pertanyaanku yang terdahulu mengenai tuhan “ Bagaimana kita bisa mengetahui tuhan itu satu”, “dari mana asal tuhan”, “mengapa kita tinggal ditampat ini dengan tubuh yang terbatas ruang dan waktu”. Rassanya lucu jika aku mengingat semua pertanyaanku yang terdaulu yang masih sekolah menengah pertama yang kemudian hanya dijwab “nanti kamu musrik, jangan mempertanyakan hal itu lagi, dan blab la bla” karena jawabn seperti inilah yang membuat ku berhenti untuk mempertanyakan sesuatu lagi pada saat itu. Miris rassanya jika saja aku berada pada zaman dimana mempertanyakan hal itu akan dibunuh, mungin aku telah terbunuh.
             Teknologi kini malah membutahkan anak-anak yang hanya terfokus pada layar kecil berukuran 4-7 inci yang membuat mereka tak ingin merpertanyakan sesuatu mengenai kehidupan ini. Apakah ini semua karena manusia kini telah disibukan pada hal yang materi, mengejar materi tanpa memikirkan sesutau yang lebih dari pada itu semua. Apakah mereka semua lupa bahwa pada seonggok daging ini ada rahasia yang menjadi pertanyaan hingga kini yakni mengenai ruh itu sendiri.
             Hal-hal demikianlah yang saya rasa membuat jalan pikiran saya pada masa SMP-SMA hanya manut-manut (menurut) saja. Tak banyak bertanya lagi pada hal yang mendasar mengenai penciptaan diri ini serta alam semesta dan Tuhan. Dan sekarang saya tahu bahwa yang membuat rasa takut untuk berfkir dasar ini semua karena konsep pehaman yang salah dari orang-orang tua terdahulu yang dikemudian ditanamkan kepada anak-anaknya juga.
            Padahal jika saja berfilsafat telah diajarkan semenjak dini. Entah itu berupa kebebasan berfikir tanpa harus terpakku pada dan tertutup karena satu ajaran keagamaan yang dianut. Karena jika saya lihat berfilsafat dapat mendatangkan sebuah kehidupan baru bagi sang pelaksana. Lihatlah alam pikiran kita ini tak terbatas oleh ruang dan waktu sehingga ketika kita telah masuk padanya jangankan dunia ini sesuatu yang tak pernah adapun akan ada di alam pikiran kita.
           
Sehingga bisa dilihat dengan mengamalkan berfilsafat dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat kita berfikir secara sitematis, dan mendasar. Itu semua muncul karena secara rutin kita berani mempertanyakan suatu hal, dan berusaha mencari kebenaran yang tersirat padanya.
             Manusia ini sungguh aneh tapi nyata saat semua potensi telah ada sehingga apa yang sebenarnya membuat manusia menjadi bukan manusia. Sering juga saya termenung manusia itu disebut manusia dilihat dari fisiknya atau dari sesuatu yang lain yang membuat tubuh ini hidup. Namun, karena tubuh manusia memiliki sesuatu yang dapat melihat, disebut mata sehingga pantas saja ada ssebagian orang yang beranggapan semua hanya bisa disebut ada jika terlihat olehnya ataupun dapat dirasakan oleh indera yang lain.
            Menurut saya sendiri tak seharusnya begitu bukankah jika kita sedang duduk pada sebuah tempat yang sepi lalu sejenak kita terdiam dan termenung, apakah alam yang ada itu Nampak oleh indera? Pastilah tidak, itulah yang disebut alam imajinasi. Tapi ada satu hal yang tersirat pada benak ini setelah memaparkan hal diatas, yakni saya ingin bebas dari tubuh yang terbatas ini sehingga mencapai yang tak terbatas.
            Sehingga filsaft ini sebenarnya sesuatu yang sudah ada pada diri manusia. Seperti saja sering saya dengar bahwa orang-orang jawa itu pada zaman dahulu sudah pandai dalam berfilsafat, terutama dalam filsafaat kehidupan. Seperti yang sering disebutkan bahwa pemhaman tentang manunggali kawulo gusti, menjadi satu dengan Tuhan.  
            Antara manusia dan alam semesta seharusnya memiliki ikatan yang sangat kuat karena manusia merupakan mikrokosmos yang memiliki unsur semua yang ada di alam semesta. Manusia dapat merasakan panas, dingin, angin yang berhembus, udara yang dapat dihirup ini semua merupakan paduan istimewa yang manjadikan manusia sebagai makhluk yang dapat mencapai sesuatu yang tak akan dicapai oleh makhluk lainnya. Pantas saja jika diri ini menatap ke arah langit maka akan ada sebuah pemikiran yang keluar,entah itu mengenai alam yang luas ini, enta itu mengenai diri ini, enta itu mengenai jalan hidup ini.
            Seperti yang kini kurasakan ketika tugas ini diberikan. Mengapa kamu menyenangi filsafat? Sungguh aku bingung untuk mengukir kata pada kata pertama yang akan kupilih. Namun, tak kusangka tangan ini menggerakkan setiap pemikiran menjadi butiran kata-kata inda yang dapat dirangkai. 
Semalam suntuk aku duduk di atas atap lantai tiga, mencari suasana dingin penuh angin yang berhembus sepoi-sepoi. Tak kurasa jam telah menunjukan pukul 1 dini hari, aku kini memang sering duduk di atas atap setelah pindah di asrama baru ini, suasana yang sepi dan langsung menatap pada gedung-gedung tinggi di sekitaran cilandak.
Aku rasa baru sekitar beberapa minggu dari sebelum tugas ini diberikan padaku. Awalnya aku hanya menghabiskan waktu dengan kasur tercinta, enta berapa lama kemudian kejenuan mulai merasuki sanubariku. Jika aku berada di kamar sungguh panas yang kurasa, keringat mengucur deras dan membasahi kasurku. Nikmat angin sepoi-sepoi itu yang kurasa ketika berada di atas atap sana. Dua hal yang saling bertentangan dan memiliki rasa pada setiap ruang yang berbeda, tapi memiliki tujuan yang sama yakni kenyamanan dalam berpijak.
Namun, aku malah memiliki kenyamanan saat tidur dikasurku, boleh jadi diatas  aku mendapat angin yang berhembus tapi disana tak kudapat kenyamanan dalam tidurku. Awal pertamaku berada diatas sana dengan secangkir susu menemaniku dan sebuah buku. Nikmat memang saat pikiran lelah lalu menidurkan diri menghadap kelangit. Lama mataku tertuju pada langit sembari pesawat lalu lalang melintasi awan. Menatap bintang yang kecil dan berkedip seakan-akan ia memanggilku.
Ketika mataku tertuju pada langit yang memberi efek biru dan putih, aku terpikir apakah mungkin aku bisa memegang bintang di langit tanpa aku harus mendekatinya. Sungguh aneh memang sebenarnya aku ini kecil, dengan tubuh mini ingin menjangkau langit tanpa alat. Tentang alam inipun aku masih memilili seribu pertanyaan padanya. Seandainua ada alam selain alam manusia, sebenarnya apa yang membuat ia tak terlihat oleh indera. Dimana para jin yang berada di bumi ini seandainya ia berada pada alam yang sama dengan alam manusia dimana mereka semua.
 Semua hal tentang kehidupan menjadi lebih mudah dipahami dengan berfilsafat. Filsafat menghantarkan kita pada sebuah ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan ini lah yang tidak dapat dibayar dengan apapun dan siapapun. Kita tidak mengenal hal tersebut apakah dari golongan kaya atau miskin, tua atau muda, sakit atau sehat. Semua bisa berfilsafat.
            Sebuah ketenangan dalam berfikir yang dapat menghantarkan manusia pada sebuah kejadian yang abadi. Semua yang manusia cari adalah kebahagian dalam hidupnya tak memandang pangkat, jabatan, usia, bahkan hartaanya. Namun, ada satu hal yang masing-masing orang lupa bahwa dalam perjalanan hidupnya tak semudah membalikkan telapak tangan.
            Aku memang anak yang tak tahu mengenai kebahagian ini. namun, filsafat menghantarkanku pada sebuah pertanyaan yang mungkin semua orang akan memikirkannya “mengapa hidupku hanya sementara”. Mengeniai pertanyaan ini sungguh sebuah pertanyaan yang melontarkanku pada jasad ini. jasad yang membuat diri ini terbatas dan akan berakhir dengan kematian dan kebahagiaan menjadi tujuan utama dalam hidup ini. mungkin saja ada yang beranggapan dan lupa bahwa dirinya yang sekarang itu masih dibalut oleh jasad yang terbatas ini sehingga kebahagiaan yang sejati itu hanya akan didapat jika aku telah melepaskan diriku dari tubuh yang terbatas ini.
            Filsafat itu mengenai sebuah pikiran yang berada jauh di alam sana namun, dekat dengan diri ini. enta aku yang harus melebur padanya atau ia yang harus melebur padaku. Lihatlah pada alam yang telah di olah oleh manusia ini yang selalu membuat sebuah peradaban besar karena hasil dari alam pikirannya. Tak terlihat memang tapi terasa pada pembentukannya, gedung yang kini terus berinovasi, teknologi yang terus berkembang, pemikiran yang terus jauh medesik membuat sebuah perubahan besar.
            Manusia yang menggunakan pikirannya merupakan manusia yang memanusiakan dirinya sendiri. Mengapa demikian? Karena hal itulah yang akan membedakan dirinya dengan makhluk lain yang tinggal berdambingan dengan manusia. Coba sekarang kita perhatikan satu makhluk yang sama seperti manusia memiliki mata, memliki kaki, memliki kepala, memiliki badan “laba-laba namanya”. Ia memiliki mata yang lebih tajam dari manusia, memliki tangan dan kaki yang lebih banyak dari manusia. Namun, lihatlah ia yang pandai dalam membuat sarang dengan cara yang luar biasa. Sehingga dengan itu ia dapat menjerat mangsanya dengan sarangnya itu. Namu, jika perhatikan dari dahulu hingga sekarang tal lebih dan kurang sang laba-laba hanyalah memiliki bentuk yang sedemikian rupa tanpa perrubahan dan inovasi yang cemerlang.
            Jika saja kita melihat pada perkembangan manusia dari dahulu hingga sekarang sungguh luar biasa, dari yang hanya gubuk dari kayu dan bambbu, hingga gedung bertingkat yang mencakar langit yang membuat manusia berjaya karena pikirannya. Namun, untuk menggapai pikiran yang hebat dengan pengetahuan filsafat yang begitu hebat. Pikiran itu berasal dari akal, akal sebuah alat yang memerlukan asupan yang disebut dengan pengetahuan untuk membuatnya berkembang dan maju tanpa berpaling kebelakang.
            Sehingga untuk mendapatkan pengetahuan yang menjadi asupan itu dibutuhkanlah indera ini sebagai media manusia untuk mencicipi nikmatnya akalnya. Pengetahuan yang hanya akan didapat dengan sesuatu yang dilihat, dirasa, dan diraba oleh indera yang kemudian dikelola oleh akal yang kemudian menjadilah ia sebuah pemikiran yang dahsyat yang bisa jadi sebuah benda fisik nantinya serta apapun juga yang menjadi hasil dari akal manusia tersebut.
            Sungguh mulia sebenarnya manusia ini dengan sesuatu yang terbatas tapi membuat dirinya menadi sesuatu yang hebat jia ia mau. Karena setiap orang akan dihadapi atasnya beberpa pilihan dlam hiupnya yang mana ia harus memilih salah satu diantara dan tak boleh memilih semuanya. Jika salah dalam memili maka kehancuran yang akan ia dapati dalam hidupny tapi jika benar ia dalam memilihnya kebahagianaa hakiki yang akania dapat.
Nah sehingga dapat disimpulkan dari pemaparan yang begitu singkat diatas bahwa diri inilah yang mengantarkanku untuk mencintai filsafat. Antara jasad dan sesuatu yang lain salin berpengaruh satu sama lain. Berani mempertanyakan sesuatu itu yang harus dilakukan, jika takut maka sudahlah ruang yang terbatas itu hanya akan membuat akan tetap pada jasad itu saja tanpa bisa menjadi yang lebih baik.

            Alam materi ini selalu berteman pada alam yang tak materi jika aku lua tntang hal ini maka aku hanya akan menjadi bagian yang materi tanpa bisa menyentu sesuatu yang bukan materi menggunakan tubu materi ini. Pergunakan fitrah sebagai landasan untuk menggapai sesuatu yang tak terbatas itu, hingga pada akhirnya semua itu berakhir pada yang abadi.

0 komentar:

Posting Komentar