Nama:
Zubir Alfiansyah
Prodi:
Ilmu Al Quran dan Tafsir
Tugas:
UAS Filsafat Ilmu
Filsafat
dalam hidupku
Badan yang kini
terus tumbuh, tak tahu siapa yang membuat ia tumbuh sedimikian rupa. Aku dulu
hanyalah seorang bayi yang tak berdaya, terkulai lemah, dan hanya bisa menangis
serta tertawa. Namun, sungguh ini sebuah kenyatan yang harus aku alami dalam
perjalanan hidup. Aku yang kini bukan lagi seorang bayi dengan tubuh lemah dan
senyum indah serta hanya ada kedua orang tua disisiku. Sekarang aku harus menghadapi
sebuah kenyataan bahwa aku hidup bersama orang yang tak aku kenali sebelumnya.
Waktu sungguh sangat cepat berlalu
,
antara siang dan malam pun aku tak tahu. Umur yang kini telah menginjak hampir
20 tahun telah dilengkapi dengan otot serta masalah yang datang silih berganti.
Selalu saja terbesit dipikiranku, “Mungkinkah aku bisaa mengembalikan masa indah
dengan senyum dan tawa tanpa dosa di wajah ini”? Tapi itu sungguh tak mungkin.
Daging yang kini menempati tulang-tulangku ia
telah tumbuh dan tak bisa kembali, ia terus saja berkembang seraya waktu
terus menyapaku. “Waktu” mungkinkah ia yang membuatku begini atau alam ini yang
membuatku terus berkembang pada fisikku hingga akhirnya nanti tubuhku kembali
lemah dengan otot-otot yang mulai mengendor, kulit keriput serta senyum yang
tak seindah seperti sekarang lagi atau ada sebuah kekutan besar yang sebenarnya
sedang mengendalikan diriku serta alam semesta ini sehingga aku serta apa pun
yang kulihat tumbuh sesuai rupanya.
lihatlah! Aku hanya tumbuh 167 cm
saja dan ada juga yang mempunyai bentuk persis seperti diriku dan rata-rata
antara 145-190an saja. Namun, sungguh aneh disekitar diriku selain aku ada juga
sesosok makhluk yang memiliki rupa yang sama sepertiku ada makhluk lain yang
memiliki rupa tak seperti diriku disebut pepohonan ia dapat tumbuh melebihi
diriku sehingga ketika aku ingin melihatnya aku harus menengadahkan kepalaku ke
atas.
Sungguh lucu rasanya jika aku
teringat pada masa-masa silam yang telah mengantarkanku pada keadaan tubuh yang
seperti ini. Siapakah dia yang mampu melakukan semua ini pada tubuh yang
memiiki jutaan sel, pertanyaan ini lagi
yang muncul pada benakku. Apa mungkin banyak orang yang seperti diriku memiliki
pertanyaan seperti ini pula, mungkin saja dengan bumi yang begitu luas seperti
ini serta sesuatu yang ada pada diri seorang manusia yang selalu mengajaknya
jauh melebihi tubuh yang terbatas ini.
Tubuh ini sungguh luar biasa dengan
sistem yang tak ada matinya yang akan berakhir jika sel-sel pada tubuh ini tak
mampu lagi menampung seonggok daging dan tulang yang melekat padanya. Aku
merupakan salah satu dari jutaan manusia yang juga terlahir dengan anggota
tubuh yang lengkap beserta indera yang sempurna: mata yang dapat melihat,
telinga yang dapat mendengar, mulut yang dapat berbicara, telinga yang dapat
mendengar, tangan yang dapat merasakan, kaki yang membuatku berpindah dari satu
tempat ketempat yang lain, masih banyak lagi kegunaan dari indera-indera ini.
Namun, sering terbesit pada benakku tentang sesuatu yang menggerakkan tubuh ini, Apakah aku yang
sebenarnya adalah tubuh dengan seonggok daging ini atau ada diriku yang lain dibalik ini semua.
Belasan tahun telah aku lewati siang
dan malam terus saja bergantian tanpa saling tertukar satu sama lainnya. Alam
yang menemaniku pun kini teus bergantian dari suasana yang indah nan sejuk. Dan
sekarang bertukar menjadi gedung-gedung tinggi serta udara yang menyesakkan
dada. Tubuhku pun telah bertukar dari kulit yang tipis kini menjadi tebal dan
tak sehalus dulu semasa bayi. Sebuah proses panjang yang menghabiskan waktu
hingga belasan tahun.
Semua indera diriku pun telah
bekerja sesuai kemampuanya masing-masing. Namun, sungguh sangat disayangkan
sehingga tak terbayangkan dibenak diriku bahwa semua fungsi inderaku hanyalah
terbatas oleh ruang dan waktu. Ia hanya sanggup menggapai sesuatu yang dapat
dilihat, dirasa, diraba, dan dicum tanpa mampu menjelaskan sesuatu yang lebih
daripada yang dapat ia rasakan itu.
Sungguh sebuah fenomena besar yang
terjadi pada tubuh ini, kecil tapi membutuhkan penjelasan yang panjang untuk
merincinkan kejadian padanya. Mulai dari dapat tumbuh dan berkembang hingga
sistem pencernaan yang semakin membaik. Jika aku bayangkan sungguh luar biasa
tubuh ini setiap menitnya diserang oleh ribuan virus dan penyakit tapi ada
sesuatu yang bersifat tameng yang melindung tubuh ini sehingga ia tetap sehat
dan bugar.
Jika aku melihat pada tubuhku ini
yang telah berubah sesuai masanya, sempat terpikir olehku “siapa diri ini
sebenarnya”. Aku hanyalah seonggok daging yang menyelimuti tulang belulang
dengan bentuk yang sama, jika aku melihat pada makhluk yang persis seperti
diriku. Namun, jika aku melihat makhluk yang tak persis seperti diriku tapi ia
juga disebut juga dengan sebutan Manusia, ia memiliki tubuh yang hampir sama
seperti diriku tapi memiliki kekurangan mulai dari pendengaran, penglihatan,
ataupun untuk berjalan. Apakah semua itu memiliki hikmah tersendiri atau ada
rahasia dibalik rahasia, entahlah aku belum memiliki kemampuan menjawabnya.
Perjalanan kehidupan dirikupun
dimulai pada saat ini. Aku yang awalnya hanyalah seseorang dengan tubuh yang
lemah serta pemikiran yang masih mengharapkan kesengangan saja tanpa memikirkan
ada rasa yang lain yakni sedih. Aku teringat pada pertanyaan-pertanyaan yang dulu
sempat aku lontarkan kepada guru mengajiku mengenai Alam semesta ini. Bahkan
aku sempat menanyakan tentang Tuhan pada guruku, semua pertanyaan mengenai ini
telah aku lontarkan sejak aku menginjak sekolahh mengeah pertama (SMP). Namun,
sungguh membuat aku jenuh pada saat itu pertanyaan aku hanya dijawab “kamu
belum waktunya berpikir seperti itu nanti kamu bisa menjadi musyrik” itu
jawaban dri guru mengajiku. Sungguh jawaban itu membuatku berhenti untuk
mempertanyakan seputar alam dan ketuhan pada siapapun, bungkam saja dan
menutupi diri itu yang aku pilih sejak saat itu.
Hari demi haripun terus saja berputar
hingga suatu hari aku bertemu dengan para teman-teman yang senang melakukan
pencarian kesejatiaan diri. Bisa disebut mereka pecinta “Ma’rifat” pemekiran
mereka kembali mempengaruhiku untuk mempertanyakan tentang suatu hal yang
sangat dasar mengenai Tuhan dan Alam,
tentang keterkaitan alam dan manusia. Semua itu mereka lakukan dengan berdzikir
dan berpikir. Terkadang aku tak mampu menjawab pertanyaan yang mereka lontarkan
padaku.
Hingga pada suatu hari tepatnya
ketika kelulusan sekolah dimulai. Aku awalnya tak terpikir akan terdampar di
STFI sadra. Ketika ujian sekolah Madrasah Aliya selesai keesokan harinya aku
langsung saja berangkat ke Palembang yang merupakan ibu kota SUMSEL, sekitar 8
jam dari tempatku. Sampai disana aku hanya berpikir untuk bekerja, ikut dengan
sepupuku di Kantor pengiriman barang. Sudah tepat 1 bulan aku disaana kelulusan
sekolahpun diumumkan. Aku hanya bisa melihat melalui Website MAN 1, dan LULUS
satu kata yang aku lihat berdampingan bersama namaku.
Setelah itu barulah aku dikabari
oleh seseorang yang tak lain adalah orang yang paling denganku. Ia memberi tahu
mengenai STFI sadra. Aku baru mendengar mengenai sekolah ini. apa itu filsafat?
pertanyaan ini datang ketika melihat dari nama sekolah tinggi ini. itulah awal
aku mulai mencari tahu kata yang berjulukan akar dari semua keilmuan yakni
Filsafat.
Tak lama setelah itu aku sudah
berada di Jakarta tempat sekolah inipun berada. Dan seiring berlalunya waktu
ternyata semua pertanyaan yang sempat aku pertanyakan dahulu merupakan bagian
dari filsafat. Namun, sungguh aneh ketika sebelum aku berada disini semua
orang-orang tua ketika mendengar aku ingin ke sekolah ini mereka kaget, karena
kata filsafat itu sendiri. Ada yang mengatakan “ae dak ke sholat lagi kau
menlah kenal filsafat, “weh berat itu pening palak”, “ai tengoklah kau gek
caknyo ngeremeke syariat gek cubo lah” (dalam bahasa sumsel), dan masih banyak
lagi aku yang belum tahu apa-apa mengenai filsafat itu sendiripun Cuma bisa
diam saja.
Tapi semua pernyataan yang pernah
aku dengar sebelum berada ditempat
ini mengenai filsafat sendiri terjawab
akhirnya. Itu semua hanya cara berpikir yang salah yang telah melekat pada
masyarakat. Jika saja pola pikir itu dirubah pasti tak ada yang takut ketika
mendengar kata filsafat. layaknya ketika tahun pertama saya di sadra dan
kemudian saya pulang untuk mengambil ijazah. Setelah itu saya diajak oleh guru
saya utnuk menemaninya ke sebuah desa yang cukup jauh dari tempatku. Kemudian
saya berjumpa pada seorang sebut saja ustad di daerah itu. Ia mengajakku
mengobrol hingga akhirnya ia menanyakan “sekolah dimana?” di sekolah tinggi
filsafat islam jawabku. Ustad itupun senyum-senyum saja lalu ia mengatakan “
saya pernah berdebat dengan orang filsafat” apo yo, kataku. Ustad itu
mengatakan orang filsafat itu aneh ya masa ia samakan ka’bah dengan batu biasa.
Kok bisa begitu kata saya. Saya yang hanya baru menghabiskan masa di bogor saja
untuk belajar bahasa arab sewaktu di Jakarta, ya hanya menjawab seadahnya saja.
Inilah sebuah pemahan yang salah sebenarnya mengenai filsafat.
Sungguh ironis jika aku mengingat
masa dahulu dimana saat aku sering mempertanyakan sesuatu tapi malah dijawab
dengan jawaban yang membuat aku berhenti mempertanyakkan hal-hal yang mendasar, yang pada akhirnya aku
sadar bahwa pertanyaanku dahulu juga pernah dipertanyakan oleh para filosof
terdahulu, ini smeua aku ketahui setelah berada di sini.
Mungkin Tuhan mempunyai rencana yang
besar sehingga saya dimudahkan untuk bertemu dengan sekolah tinggi ini. Ditempat ini aku bebas
mempertanyakan apapun tanpa
takut untuk di tertawakan ataupun di cemooh. Ditempat inilah yang
memperkenalkanku mengenai filsafat dan mengajarkanku untuk berani berpikir
mandiri.
Satu hal lagi yang belum aku ketahui
sejak dahulu yang hingga membuat saya berpikir apakah semua tentangnya telah
ditutup rapat didaerahku atau memanag banyak yang yang tidak mengetahuinya.
Yakni tentang sebuah aliran mazhab yang bernama Syiah, nama ini baru aku kenal
ditempat ini. Awalnya aku hanya tahu dari buku pelajaran mengenai syiah tanpa
tahu bahwa di Indonesia ia ada, ajarannyapun baru ku kenali disini bahkan
konfliknya semua itu baru aku ketahui disini.
Memang jika dilahat berfilsafat itu
tak memandang usia jika kita melihat pada definisi filsafat itu sendiri yakni
cinta kebijaksanaan, yang dalam artian mencari sesuatu pada yang dasar. Namun,
untuk menggapai itu semua diperlukannya akal untuk berperan aktif padanya. Jika
dilahat pada saat ini sungguh pantas jika banyak yang tidak mengetahui filsafat
dan tak mau berfilsafat karena filsafat menggunakan akall dan akal bersifat non
materi sedangkan sekarang manusia lebih dekat pada satu hal yang disebut
materi. Apa yang dilihat lebih diercayai darpada sesuatu ang hanya bualan
belaka. Doktrin-doktrin semua ditelan mentah-mentah dan mengesampingkan
pemikiran yang bersifat membebaskkan diri dari doktrin-doktrin tersebut.
Jika dilihat dari semua kisah yang
baru saja saya paparkan, bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya ketika kita
berusaha mempertanyakan sesuatu dan mencoba menanyakan pada orang yang lebih
tua. Seperti pertanyaanku yang terdahulu mengenai tuhan “ Bagaimana kita bisa
mengetahui tuhan itu satu”, “dari mana asal tuhan”, “mengapa kita tinggal
ditampat ini dengan tubuh yang terbatas ruang dan waktu”. Rassanya lucu jika
aku mengingat semua pertanyaanku yang terdaulu yang masih sekolah menengah
pertama yang kemudian hanya dijwab “nanti kamu musrik, jangan mempertanyakan
hal itu lagi, dan blab la bla” karena jawabn seperti inilah yang membuat ku
berhenti untuk mempertanyakan sesuatu lagi pada saat itu. Miris rassanya jika
saja aku berada pada zaman dimana mempertanyakan hal itu akan dibunuh, mungin
aku telah terbunuh.
Teknologi kini malah membutahkan anak-anak
yang hanya terfokus pada layar kecil berukuran 4-7 inci yang membuat mereka tak
ingin merpertanyakan sesuatu mengenai kehidupan ini. Apakah ini semua karena
manusia kini telah disibukan pada hal yang materi, mengejar materi tanpa
memikirkan sesutau yang lebih dari pada itu semua. Apakah mereka semua lupa
bahwa pada seonggok daging ini ada rahasia yang menjadi pertanyaan hingga kini
yakni mengenai ruh itu sendiri.
Hal-hal demikianlah yang saya rasa membuat
jalan pikiran saya pada masa SMP-SMA hanya manut-manut (menurut) saja. Tak
banyak bertanya lagi pada hal yang mendasar mengenai penciptaan diri ini serta
alam semesta dan Tuhan. Dan sekarang saya tahu bahwa yang membuat rasa takut
untuk berfkir dasar ini semua karena konsep pehaman yang salah dari orang-orang
tua terdahulu yang dikemudian ditanamkan kepada anak-anaknya juga.
Padahal jika saja berfilsafat telah
diajarkan semenjak dini. Entah itu berupa kebebasan berfikir tanpa harus
terpakku pada dan tertutup karena satu ajaran keagamaan yang dianut. Karena
jika saya lihat berfilsafat dapat mendatangkan sebuah kehidupan baru bagi sang
pelaksana. Lihatlah alam pikiran kita ini tak terbatas oleh ruang dan waktu
sehingga ketika kita telah masuk padanya jangankan dunia ini sesuatu yang tak
pernah adapun akan ada di alam pikiran kita.
Sehingga bisa dilihat dengan
mengamalkan berfilsafat dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat kita berfikir
secara sitematis, dan mendasar. Itu semua muncul karena secara rutin kita
berani mempertanyakan suatu hal, dan berusaha mencari kebenaran yang tersirat
padanya.
Manusia ini sungguh aneh tapi nyata saat semua
potensi telah ada sehingga apa yang sebenarnya membuat manusia menjadi bukan
manusia. Sering juga saya termenung manusia itu disebut manusia dilihat dari
fisiknya atau dari sesuatu yang lain yang membuat tubuh ini hidup. Namun,
karena tubuh manusia memiliki sesuatu yang dapat melihat, disebut mata sehingga
pantas saja ada ssebagian orang yang beranggapan semua hanya bisa disebut ada
jika terlihat olehnya ataupun dapat dirasakan oleh indera yang lain.
Menurut saya sendiri tak seharusnya
begitu bukankah jika kita sedang duduk pada sebuah tempat yang sepi lalu
sejenak kita terdiam dan termenung, apakah alam yang ada itu Nampak oleh indera?
Pastilah tidak, itulah yang disebut alam imajinasi. Tapi ada satu hal yang
tersirat pada benak ini setelah memaparkan hal diatas, yakni saya ingin bebas
dari tubuh yang terbatas ini sehingga mencapai yang tak terbatas.
Sehingga filsaft ini sebenarnya
sesuatu yang sudah ada pada diri manusia. Seperti saja sering saya dengar bahwa
orang-orang jawa itu pada zaman dahulu sudah pandai dalam berfilsafat, terutama
dalam filsafaat kehidupan. Seperti yang
sering disebutkan bahwa pemhaman tentang manunggali kawulo gusti, menjadi satu
dengan Tuhan.
Antara
manusia dan alam semesta seharusnya memiliki ikatan yang sangat kuat karena
manusia merupakan mikrokosmos yang memiliki unsur semua yang ada di alam
semesta. Manusia dapat merasakan panas, dingin, angin yang berhembus, udara
yang dapat dihirup ini semua merupakan paduan istimewa yang manjadikan manusia
sebagai makhluk yang dapat mencapai sesuatu yang tak akan dicapai oleh makhluk
lainnya. Pantas saja jika diri ini menatap ke arah langit maka akan ada sebuah pemikiran
yang keluar,entah itu mengenai alam yang luas ini, enta itu mengenai diri ini,
enta itu mengenai jalan hidup ini.
Seperti
yang kini kurasakan ketika tugas ini diberikan. Mengapa kamu menyenangi
filsafat? Sungguh aku bingung untuk mengukir kata pada kata pertama yang akan
kupilih. Namun, tak kusangka tangan ini menggerakkan setiap pemikiran menjadi
butiran kata-kata inda yang dapat dirangkai.
Semalam suntuk aku duduk di atas
atap lantai tiga, mencari suasana dingin penuh angin yang berhembus sepoi-sepoi.
Tak kurasa jam telah menunjukan pukul 1 dini hari, aku kini memang sering duduk
di atas atap setelah pindah di asrama baru ini, suasana yang sepi dan langsung
menatap pada gedung-gedung tinggi di sekitaran cilandak.
Aku rasa baru sekitar beberapa minggu dari sebelum
tugas ini diberikan padaku. Awalnya aku hanya menghabiskan waktu dengan kasur tercinta,
enta berapa lama kemudian kejenuan mulai merasuki sanubariku. Jika aku berada
di kamar sungguh panas yang kurasa, keringat mengucur deras dan membasahi
kasurku. Nikmat angin sepoi-sepoi itu yang kurasa ketika berada di atas atap
sana. Dua hal yang saling bertentangan dan memiliki rasa pada setiap ruang yang
berbeda, tapi memiliki tujuan yang sama yakni kenyamanan dalam berpijak.
Namun,
aku malah memiliki kenyamanan saat tidur dikasurku, boleh jadi diatas aku mendapat angin yang berhembus tapi disana
tak kudapat kenyamanan dalam tidurku. Awal pertamaku berada diatas sana dengan
secangkir susu menemaniku dan sebuah buku. Nikmat memang saat pikiran lelah
lalu menidurkan diri menghadap kelangit. Lama mataku tertuju pada langit
sembari pesawat lalu lalang melintasi awan. Menatap bintang yang kecil dan
berkedip seakan-akan ia memanggilku.
Ketika mataku
tertuju pada langit yang memberi efek biru dan putih, aku terpikir apakah
mungkin aku bisa memegang bintang di langit tanpa aku harus mendekatinya. Sungguh
aneh memang sebenarnya aku ini kecil, dengan tubuh mini ingin menjangkau langit
tanpa alat. Tentang alam inipun aku masih memilili seribu pertanyaan padanya.
Seandainua ada alam selain alam manusia, sebenarnya apa yang membuat ia tak
terlihat oleh indera. Dimana para jin yang berada di bumi ini seandainya ia
berada pada alam yang sama dengan alam manusia dimana mereka semua.
Semua
hal tentang kehidupan menjadi lebih mudah dipahami
dengan berfilsafat. Filsafat menghantarkan kita pada sebuah ketenangan dan
kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan ini lah yang
tidak dapat dibayar dengan apapun dan siapapun. Kita tidak mengenal hal
tersebut apakah dari golongan kaya atau miskin, tua atau muda, sakit atau
sehat. Semua bisa berfilsafat.
Sebuah ketenangan dalam berfikir yang
dapat menghantarkan manusia pada sebuah kejadian yang abadi. Semua yang manusia
cari adalah kebahagian dalam hidupnya tak memandang pangkat, jabatan, usia,
bahkan hartaanya. Namun, ada satu hal yang masing-masing orang lupa bahwa dalam
perjalanan hidupnya tak semudah membalikkan telapak tangan.
Aku memang anak yang tak
tahu mengenai kebahagian ini. namun, filsafat menghantarkanku pada sebuah
pertanyaan yang mungkin semua orang akan memikirkannya “mengapa hidupku hanya
sementara”. Mengeniai pertanyaan ini sungguh sebuah pertanyaan yang
melontarkanku pada jasad ini. jasad yang membuat diri ini terbatas dan akan
berakhir dengan kematian dan kebahagiaan menjadi tujuan utama dalam hidup ini.
mungkin saja ada yang beranggapan dan lupa bahwa dirinya yang sekarang itu
masih dibalut oleh jasad yang terbatas ini sehingga kebahagiaan yang sejati itu
hanya akan didapat jika aku telah melepaskan diriku dari tubuh yang terbatas
ini.
Filsafat itu mengenai
sebuah pikiran yang berada jauh di alam sana namun, dekat dengan diri ini. enta
aku yang harus melebur padanya atau ia yang harus melebur padaku. Lihatlah pada
alam yang telah di olah oleh manusia ini yang selalu membuat sebuah peradaban
besar karena hasil dari alam pikirannya. Tak terlihat memang tapi terasa pada
pembentukannya, gedung yang kini terus berinovasi, teknologi yang terus
berkembang, pemikiran yang terus jauh medesik membuat sebuah perubahan besar.
Manusia yang menggunakan
pikirannya merupakan manusia yang memanusiakan dirinya sendiri. Mengapa
demikian? Karena hal itulah yang akan membedakan dirinya dengan makhluk lain
yang tinggal berdambingan dengan manusia. Coba sekarang kita perhatikan satu makhluk
yang sama seperti manusia memiliki mata, memliki kaki, memliki kepala, memiliki
badan “laba-laba namanya”. Ia memiliki mata yang lebih tajam dari manusia,
memliki tangan dan kaki yang lebih banyak dari manusia. Namun, lihatlah ia yang
pandai dalam membuat sarang dengan cara yang luar biasa. Sehingga dengan itu ia
dapat menjerat mangsanya dengan sarangnya itu. Namu, jika perhatikan dari
dahulu hingga sekarang tal lebih dan kurang sang laba-laba hanyalah memiliki
bentuk yang sedemikian rupa tanpa perrubahan dan inovasi yang cemerlang.
Jika saja kita melihat
pada perkembangan manusia dari dahulu hingga sekarang sungguh luar biasa, dari
yang hanya gubuk dari kayu dan bambbu, hingga gedung bertingkat yang mencakar
langit yang membuat manusia berjaya karena pikirannya. Namun, untuk menggapai
pikiran yang hebat dengan pengetahuan filsafat yang begitu hebat. Pikiran itu
berasal dari akal, akal sebuah alat yang memerlukan asupan yang disebut dengan
pengetahuan untuk membuatnya berkembang dan maju tanpa berpaling kebelakang.
Sehingga untuk mendapatkan
pengetahuan yang menjadi asupan itu dibutuhkanlah indera ini sebagai media
manusia untuk mencicipi nikmatnya akalnya. Pengetahuan yang hanya akan didapat
dengan sesuatu yang dilihat, dirasa, dan diraba oleh indera yang kemudian
dikelola oleh akal yang kemudian menjadilah ia sebuah pemikiran yang dahsyat
yang bisa jadi sebuah benda fisik nantinya serta apapun juga yang menjadi hasil
dari akal manusia tersebut.
Sungguh mulia sebenarnya
manusia ini dengan sesuatu yang terbatas tapi membuat dirinya menadi sesuatu
yang hebat jia ia mau. Karena setiap orang akan dihadapi atasnya beberpa
pilihan dlam hiupnya yang mana ia harus memilih salah satu diantara dan tak
boleh memilih semuanya. Jika salah dalam memili maka kehancuran yang akan ia
dapati dalam hidupny tapi jika benar ia dalam memilihnya kebahagianaa hakiki
yang akania dapat.
Nah sehingga dapat disimpulkan dari pemaparan yang begitu
singkat diatas bahwa diri inilah yang mengantarkanku untuk mencintai filsafat.
Antara jasad dan sesuatu yang lain salin berpengaruh satu sama lain. Berani
mempertanyakan sesuatu itu yang harus dilakukan, jika takut maka sudahlah ruang
yang terbatas itu hanya akan membuat akan tetap pada jasad itu saja tanpa bisa
menjadi yang lebih baik.
Alam materi ini selalu
berteman pada alam yang tak materi jika aku lua tntang hal ini maka aku hanya
akan menjadi bagian yang materi tanpa bisa menyentu sesuatu yang bukan materi
menggunakan tubu materi ini. Pergunakan fitrah sebagai landasan untuk menggapai
sesuatu yang tak terbatas itu, hingga pada akhirnya semua itu berakhir pada
yang abadi.
0 komentar:
Posting Komentar