Ilmu adalah hewan liar, maka ikatlah dia dengan tulisan<\marquee>

Rabu, 03 Agustus 2016

Makalah kelompok Tazkiyatunnafs

BAB II
A.    Pengertian Tazkiyatunnafsi
Tazkiyatun nafsi berasal dari bahasa Arab yaitu تزكية النفس   , dimana kalimat tersebut merupakan gabungan dari dua kata, yaitu tazkiyah (تزكية) yang berarti bersih [1], dan an-nafsi  (النفس) yang artinya jiwa [2]. Yang kemudian digabungkan dua kata tersebut sehingga mengandung arti  bahwa tazkiyatunnafsi adala membersihkan hati.

            Sedangkan secara istilah, tazkiyatun nafsi adalah suatu upaya pengkondisian spiritual agar jiwa merasa tenang, tentram, dan senang berdekatan dengan Allah, yaitu dengan cara ibadah. [3]
Menurut Imam Al-Ghazali, Tazkiyatun nafsi adalah upaya penyucian jiwa seseorang agar terhindar dari sifat-sifat tercela. [4]
Pendapat lain mengatakan bahwa, tazkiyatunnafsi yaitu menghindarkan, atau menjauhkan hati sesuai fitrahnya, yaitu fitrah iman, islam, dan ihsan kepa Allah. [5]
Dari tiga definisi di atas, yakni definisi secara etimologi dan definisi secara terminologi, dapat kita turunkan maknanya bahwa tazkiyatun nafsi adalah bagaimana seorang hamba berupaya untuk kembali kepada fitrahnya, yaitu menghindari sifat-sifat tercela, dan menguatkan iman, islam, serta ikhsan yang merupakan basis keutuhan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Karena bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia adalah diciptakan oleh Dzat yang baik dan bersih, sehingga pada intinya kita semua mampu untuk menginstall diri untuk menjadi bersih dan suci dari sifat-sifat tercela.
Dalam Al-Quran, ayat yang menjelaskan dan menyinggung gmengenai tazkiyatunnafsi cukup banyak. Salah satu ayat yang menjadi dasar tazkiyatunnafsi – dengan memandang pada arti yang dimaksud – , yaitu  surat Al-A’la ayat 14, yang berbunyi:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تزَكَّا [6]
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)
            Dari kandungan makna yang ditunjukkan ayat ini sungguh pun sangat beruntung siapa saja yang membersihkan dirinya melalui iman, yakni membersihkan dirinya agar memiliki iman yang tebal dan terhindar dari sifat-sifat yang dicela Allah, hingga akhirnya seseorang yang demikian akan memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Para Mufassir Masyhur, dalam kraya fenomenal mereka masing-masing memiliki pandangan yang cukup hebat akan apa maksud Allah SWT dalam ayat tersebut di atas. Pertama, Imam ThabaThabai dalamTafsir Al-Mizannya mengatakan seperti berikut:
«قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى‏» التزكي‏ هو التطهر و المراد به التطهر من ألواث التعلقات الدنيوية الصارفة عن الآخرة[7]
Bahwa, yang dimaksud ‘’Tazakka’’ dalam ayat tersebut adalah suci, dan yang dikehendaki dari suci itu adalah suci dari kotoran-kotoran yang kaitannya dengan keduniawian, sehingga hal tersebut akan melalaikan dirinya untuk mengingat akhirat.
            Sedangkan Imam Jalalain (SuyutidanMahalli), memaparkan maksud ‘’Tazakka’’ yang memiliki arti suci, adalah sebagai berikut:
قَدْ أَفْلَحَ‏ فاز مَنْ تَزَكَّى‏ تطهر بالإيمان‏[8]
Bahwa, tafsiranayat di atas adalah sungguh bahagia orang yang membersihkan, yaitu orang yang membersihkan dirinya dengan ‘’iman’’.
            Pernyataan dua imam agung ini lebih mengedepankan secara langsung untuk membersihkan jiwa kita dengan menggunakan kesucian iman.
            Selanjutnya adalah pernyataan seorang tokoh Syiah, Faidh Kasyani dalam Tafsir Ashoofi, beliau memaksudkan ayat di atas, yang kaitannya dengan tazkiyatun nafsi, sebagai berikut:
            [9]قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى‏ تطهّر من الشّرك و المعصية
Bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang bersih, yakni bersih dari syirik dan maksiat.
Jika kita tilik secara teliti, yang menarik dari pernyataan ulama satu ini cukup universal, beliau yakni menyebutkan bersih dari maksiat.Artinya bahwa sungguh orang yang melakukan tazkiyatun nafsi adalah mereka yang menjauhi segala bentuk dosa, baik dosa besar, atau pun dosa sekecil mungkin.Sehingga kemudian dirinya akan dicap sebagai orang yang beruntung di dunia atau pun akhiratnya.
Kalau kita kaitkan satu sama lain dari tiga pendapat Mufassir mengenai bersih dalam ayat di atas, yang merupakan basis bertazkiyatun nafsi, adalah bahwa orang yang berbahagiaadalah orang yang hatinyabersihdaridosaataukotoran-kotoranjiwa, dengan melalui penguatan iman.
            Antara definisi yang didapat dari etimologi dan terminology yang telah dipaparkan sebelumnya dengan tafsiran para ulama masyhur di atas, bahwa Tazkiyatunnafsi, yaitu suatu amalan yang akan membuat orang yang melaksanakannya mencapai kebahagiaan hakiki, yang semuanya dilalui dengan melewati penyucian jiwa, yaitu dengan menjauhi maksiat-maksiat, sekecil apa pun itu.
B. Tahap-tahap Penyucian Jiwa (Tazkiyatun nafs)
Piring yang padanya terdapat noda, atau piring yang lama tidak disentuh oleh pemiliknya, akan terlihat keruh, kotor, penuh debu bagi siapa saja yang memandangnya. Terlebih jika piring tersebut sudah dipakai untuk wadah apa saja, wadah sayuran, semur, lauk pauk, dll. Pasti akan terlihat tidak enak dipandang jika setelah dipakainya tidak digosok dan dicuci menggunakan pembersih (sabun).
            Begitulah seperti di atas, jiwa manusia, tidak akan bersih sehingga mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari Allah SWT, jika hatinya selalu didiamkan, terlebih jika setiap saatnya berlumuran dengan dosa, baik dosahati, dosa mata, atau dosa lainnya yang ditimbulkan dari diri seorang hamba. Sehingga hatinya terkesan bengkok dan jauh di mata Allah SWT untuk diberi keberuntungan hakiki.
            Hal di atas, bukanhal yang mustahil untuk kemudian seseorang yang terjangkit atau bahkan kronis dalam dosa, untuk menghanguskan dosa-dosanya, dan terus berusaha sekeras mungkin membumi hanguskan sifat-sifat tercela, jalannya yaitu dengan Tazkiyatun nafs.Sebagai suatu konsep untuk menyucikan hati, sudah pasti ada metode yang dikehendaki di dalamnya.
Dalam pandangan kaum sufi, manusia memang cenderung mengikuti hawa nafsunya. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Menurut Imam Al-Ghazali, hidup yang seperti demikian itu akan membawa kepada jurang kehancuran. Sebab seorang yang demikan adalah menjadikan dunia sebagai tujuan utama, bukan menjadikannya sebagai sarana untuk menuju kebahagiaan atau kenikmataan hakiki. [10]
Jika kita kembali kepada definisi Tazkiyattunafsi yang telah dipaparkan di awal, adalah bahwa jiwa manusia akan menjadi bersih dan suci dari sifat-sifat tercela, baik yang timbul dari lahiriyah, atau pun bathiniyyah atau sifat tercela yang ditumbulkan hati, semua itu jika diinstall dengan pembersihan jiwa, yaitu dengan kembali kepada fitrah manusia, mengedepankan iman, islam, dan ihsan, sehingga kemudian dirinya akan menjadi hamba Allah yang suci, hingga akhirnya dirinya disebut (dalam pandangan orang, bukan menurut dirinya – penj) sebagai ‘’orang sufi’’.
Dalam ajaran sufi, hal tersebut bisa dilaksanakan dengan menggunakan tahapan-tahapannya, yaitu tahapan membersihkan jiwa, yang hal ini dinamakan sebagai usaha untuk menyingkap tabir penghalang antara manusia dengan Tuhannya, tahapan tersebut terdiri dari takhalli, tahalli, dan tajalli. [11]
Tahapan penyucian jiwa yang pertama adalah Takhalli. Takhalli, berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tecela, dan dari maksiat lahir atau pun batin.[12]Diantara sifat-sifat yang tercela yang meskinya dihilangkan dalam membersihkan hati adalah: Hasud (Dengki) , Haqd (Benci), Kibir (Sombong), Ujub (Pamer), Bukhul (Pelit), Riya (Ingin dilihat orang), Hubbul Jaah (Cinta kedudukan) , Hubbul Maal (Cinta dunia) ,Marah; lebih kepada balas dendam, Ghibah (Menggunjing), Namimah (Mengadu), Kidzb (Bohong), Syahrul Kalam (Mengeraskan ucapan), dan lain-lain. [13]
            Pada dasarnya, sifat yang tercela itu bukan hanya yang disebutkan di atas, yang itu merupakan kejahatan yang ditimbulkan dari hati. Tetapi, sungguh pun tak terhitung sifat-sifat yang dicap sebagai tercela dan membahayakan bagi diri, masyarakat sekitar, dan juga bangsa.
            Sifat-sifat tercela lahiriyah ini yang pada gilirannya juga akan berakibat fatal bagi diri seorang yang melakukan, seperti mencuri, mencopet, korupsi, dan sebagainya. [14]
Dan ketahuilah, semua itu, baik sifat tercela lahiririyah atau pun bathiniyah, kemudian jika tidak secepatnya diobati, akan tercemar di masyarakat umum, akan menyebar di satu desa, satu kecamatan, satu kabupaten, bahkan satu provinsi dan seluruh elemen bangsa akan mewarisi tindakan yang demiikian ini. Semua itu yang akan menhancurkan martabat bangsa. [15]
Kedua sifat di ataslah yang mengotori jiwa setiap waktu, yang mempertebal dinding diri seorang yang melakukaannya dengan Tuhannya. Karena itu sebagai tahapan awal, sifat-sifat di atas harus dibumi hanguskan dan dilepas serta dibuang jauh-jauh, agar kemudian diisi dengan sifat-sifat yang terpuji untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
            Tahapan kedua, adalah Tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan batin. [16]setelahnya hati seseorang telah kosong dari sifat tercela, maka tahap kemudian dengan mengisinya dengan amalan-amalan yang terpuji. Sifat sifat ini baik yang berupa sifat ‘’luar’’ atau pun ‘’dalam’’. Yang dimaksud dengan sifat luar adalah seperti melakukan shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud sifat dalam adalah seperti ikhlas, iman, ridho, qonaah, dan sebagainya. [17]
            Jika sifat-sifat terpuji tersebut dilakukan secara teratur dan istiqomah, maka tidak dipungkiri akan menjadi malakah atau kebiasaan bagi seseorang yang dalam tahap menyucikan jiwa tersebut. Dan tentunya hatinya akan menjadi terang, berbeda dengan sebelum diinstall dengan sifat-sifat tersebut di atas. Maka, ketika seseorang telah bisa untuk melaksanakan tahapan di atas, dari sukses melakukan tahap pertama, yakni takholli, dan kedua, yakni tahalli, maka dipastikan seluruh hidup dan gerak-gerik kehidupannya akan diikhlaskan semuanya semata karena Allah. Sehingga dirinya akan mampu untuk mendekat kepada Allah SWT.
            Sebagai akhir bahasan dari tahapan tazkiyatunnafsi ini, bahwa apabila jiwa seseorang telah terisi dengan sifat-sifat mulia, dan organ tubuhnya sudah terbiasa untuk melakukan amal-amal saleh, maka supaya hasil yang diperoleh tidak berkurang, perlu adanya penghayatan ketuhanan, atau penghayatan kepada Tuhan, hingga lenyapnya hijab sifat-sifat kemanusiaan pada dirinya, dan dirinya bersatu dengan nur Tuhan, yang ini dalam ilmu tashawwuf dinamakan dengan Tajalli. [18]
C.    Aplikasi Pendidikan Hati
            Thariqah dalam ilmu tasawuf yang harus dijalankan oleh seorang sufi adalah tazkiyatun nafs, menyucikan diri. Sebagaimana telah di uraikan di atas secara ringkas tazkiyatun nafs itu berarti menyucikan diri dari perbuatan syirik dan cabang-cabangnya (riya, sombong, dll). Menanamkan nilai-nilai ketauhidan dan cabang-cabangnya. Serta menerapkan perbuatan sesuai dengan ibadah kepada Allah dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah. Teori ini dalam tasawuf kita kenal Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Pada pembahasan kali ini penulis akan memaparkan sebuah metode tazkiyatun nafs menurut al-Quran dan satu contoh sifat yang harus dibersihkan atau disucikan oelh seorang sufi. Sebenarnya banyak tema dalam tazkiyatun nafs ini, namun karena keterbatasan penulis baik dari pemahaman maupun waktu. Sehingga penulis memilih satu tema saja yang paling penting.
            Allah swt berfirman dalam Q.S an-Nuur [24]: 21.
“wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmar-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dia kehendaki. Dan Allah maha mendengar, Maha mengetahui”.[19]
Ayat ini turun setelah peristiwa ifik (tuduhan perzinahan kepada istri nabi, Siti Aisyah). Ayat ini terletak setelah ayat yang melarang menyebarkan aib (kejelekan) orang-orang mukmin. Dan setelah ayat yang melarang mengikuti langkah-langkah setan.[20] Dan Allah swt berfirman:
Dan janganlah orang-orang yang mempuyai kelebihan dan kelapangan antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-oraang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha penyayang”.[21]
Dari kedua ayat ini kita bisa mendapatkan beberapa kesimpulan yang menunjukan metode atau langkah untuk Tazkiyatun Nafs:
1.      Tazkiyatun nafs merupakan sesuatu yang sangat sulit dan mustahil dapat dilakukan oleh manusia tanpa pertolongan Allah. Sehingga dalm hal ini ada dua hal yang penting untuk diperhatikan yaitu sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah. Dalam tazkiyatun nafs harus mempunyai kesungguhan dalam melakukannya dan keistiqomahan karena kalau tidak, maka tingkatan maqam kita tidak akan meningkat.kemudian Ditambah dengan iringan doa yang harus selalu kita panjatkan kepada Allah swt agar diberikan kemudahan dan keistiqomahan. Berikut hadis yang dianjurkan Nabi,

اللهم ا ت نفسي تقواها وزكها انت خير من زكها انت وليها ومولاها 
Artinya: “Ya Allah berikan kepada diriku ketaqwaan dan kesucian diri, sesungguhnya engkau adalah sebai-baiknya zat yang membersihkan (hati manusia) dan engkau adalah penolong bagi merka yang membersikan diri”.(H.R Muslim)

2.      Salah satu menyucikan diri adalah denagan memaafkan dan melapangkan hati terhadap orang yang melakukan perbuatan jelek kepada kita. Dalam surah An-Nuur ayat 22 – turun berkaitan dengan peristiwa ifik, yaitu Misthoh bin Utsatsah, ia adalah seorang yang selalu mendapat santunan dari Abu Bakar akan tetapi ia menyebarkan fitnah bahwa aisyah telah melakukan perselingkuhan. Abu bakar sangat marah dan bersumpah tidak akan memberikan ia santunan lagi, maka turunlah ayat ini dan Abu Bakar kembali memberikan santunan kepadanya. Sungguh tinggi kedudkan Abu bakar sehingga ia mendapatkan teguran khusus dari al-Qur’an. 
3.      Menyucikan diri adalah tidak mengikuti langkah-langkah setan karena setan adalah zat yang selalu mengajak kepada perbuatan keji (fakhisyah) dan kemungkaran. Diantara langkah-langkah setan, seperti mengikuti kehendak nafsu, marah,  dan ghibah.
4.      Tidak senang menyebarkan kejelekan yang dilakukan orang beriman dan tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan keji, baik secara langsung atau tidak langsung. dan
5.      Menjaga lisan dari menuduh orang lain atau mengatakan sesuatu yang menyakiti hati orang-orang beriman, kecuali memlilki bukti yang kuat.[22]
Dari penjelasan di atas kita ada lima langkah tazkiyatun nafs yaitu, pertama hendaklah seorang yang ingin menyucikan jiwannya mempunyai kesungguhan dalam menjalankannya. Sehinnga keinginan tazkiyatun nafs tidak putus di tengah jalan. Kemudian diiringi dengan doa kepada Allah swt, karena manusia lemah tak berdaya hanya karena rahmat dan karunia –Nya lah kita mampu menyucikan diri. Kedua seorang yang ingin menyucikan diri harus mempunyai sifat pemaaf kepada orang yang melakukan perbuatan jelek kepada kita, sebagaimana Nabi memaafkan orang yang selalu meludahinya bahkan ia jenguk ketika ia sakit – dan luar biasa berkat keutamaan akhlak Nabi ia bisa masuk islam. Ketiga harus berhati-hati jangan sampai kita mengikuti langkah0langkah syetan. Keempat jenganlah menyebarkan kejelekan yang dilakukan orang yang beriman dan tidak mengerjakan perbuatan keji. Kelima hendaknya menjaga lisan kita dari perkataan yang menyakiti hati orang lain.
D.    Penyakit hati yang harus di sucikan yaitu sifat ’Syirik dan Riya’
      Syirik merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia karena syirik adalah menyipati ketuhanan kepada sesuatu yang tidakberhak menerimanya, dan menyembah kepada sesuatu yang tidak pantas disembah, misalnya menuhankan batu, gunung, pohon, manusia atau satu kelompok[23]
      Bagi orang yang telah menanamkan dalm dirinnya ketauidan maka akan terhindar dari perbuatan ini. Akan tetapi tidak mustahil disusupi dengan syirik kecil yang tersembunyi. Yang disebut dengan riya , yaitu apabila ia beribadah dengan tujuan utuk seseorang atau kelompok.[24] Sifat inilah yang tidak hanya kepada orang yang lemah imannya, bahkan kepada seorang yang tingkat ketauhidannya kuat bisa disuupi dengan sifat riya. Kita berdoa kepada Allah mudah-mudahan hati kita dijauhkan dari sifat riya. Sebenarnya banyak pembahasan sifat yang harus dibersihkan orang seorang sufi namun disini penulis hanya memilih satu tema yang mudah-mudahan bisa kita lakukan. Karena kita tidak akan mengetahui bahwa itu adalah dosa kalau kita tidak mengetahui ilmunya. Berikut penulis akan menjelaskan tentang rukun riya yang terbagi menjadi tida macam yaitu: tujuan riya, perbuatan riya, dan objek riya.[25] 
Rukun pertama: Tujuan Riya
            Banyak tujuan seseorang melakukan riya, ada karena ingin dilihat orang, takut diejek orang, atau karena ada maksud tertentu. Dalam pembahasan tujuan riya ini ada empat tingkatan yaitu;
1.      Melakukan ibadah tanpa tujuan sama sekali untuk memperoleh pahala dari Allah, seperti seseorang yang hanya melakukan shalat apabila di hadapan orang lain, sedangkan apabila ia sendiri, maka ia tidak melakukan shalat, atau ia melakukan shalat di hadapan orang-orang tanpa dengan wudhu’ karena shalat yang ia lakukan hanya agar orang lain mengetahui bahwa ia melakukan shalat. Orang seperti ini akan mendapat azab dari Allah. Ini adalah tingkat tertinggi dalam perbuatan riya.
2.      Seseorang yang beribadah, selain ingin mendapat pahala, juga ingin mendapat pujian dari orang lain. Artinya apabila tidak ada orang yang melihatnya maka ibadah itu tidak ia lakukan. Kedudukan ini tidak jauh beda dengan kedudukan sebelumnya(tingkatan pertama). Orang ini pun mendapat azab dari Allah.
3.      Seorang yang keinginan mendapat pahala dan keinginan untuk mendapat pujian atau diketahui orang (riya) sama besarnya. Artinya ketika salah satu dari keduanya tidak ada, maka ia tidak mengerjakannya. Akan tetapi apabila keduanya ada. Maka ia mengerjakan ibadah tersebut. Orang ini akan mendapatkan pahala dan dosa yang sama besarnya. Menurut pemahaman hadits Nabi orang ini tetap tidak selamat dari azab Allah.
4.      Seseorang yang apabila dilihat orang , maka ibadah yang ia lakukan lebih baik dari pada ketika sendiri. Akan tetapi walaupun tidak ada yang melihat, ia tetap megerjakan ibadah itu. Orang seperti ini tidak menggugurkan pahalanya akan tetapi hanya mengurangi sebatas riya yang dilakukannya dan mendapat pahala sebatas keinginan atas pahalanya.
Rukun Kedua: Perbuatan Riya
Perbuatan riya dibagi menjadi dua kategori. Pertama riya atas ibadah. Kedua riya atas sifat-sifat ibadah
Riya atas ibadah juga terbagi menjadi tiga tingkatan
1.      Riya atas keimanan, ini adalah perbuatan yang paling buruk. Karena pelakunya akan kekal di dalam neraka. Orang seperti ini adalah dari dhohirnya muslim akan tetapi batinnya kafir atau ia mengucapkan shahadat tapi, di dalam hatinya meningkari. Allah menyebutkan tentang orang yang seperti ini di dalam al-Qur’an. (al-Munafiqun [63]: 1), (al-Baqarah[2]: 205-206), (ali-Imran[3]: 119), (an-Nisa[4]: 143).
2.      Riya atas ibadah fardhu. Ini pun merupakan dosa yang sangat besar, tetapi tidak sama dengan yang pertama (riya atas keyakinan). Seperti seorang yang hartanya di pegang oleh orang lain dan ia memerintahkan untuk mengeluarkan zakat karena takut mendapat ejekan dari orang lain. Jika harta itu ia pegang sendiri, maka ia tidak akan mengeluatkan zakat dan allah mengetahui.
3.      Riya atas ibadah sunnah, seperti menghadiri shalat jama’ah, shalat dan memandikan jenazah, menengok orang sakit, shalat tahajud, puasa arapah,Asyura, atau senin kamis. Mereka mengerjakan ibadah-ibadah ini semata-mata karena mengharapkan pujian dan takut mendapatkan ejekan dari orang lain.
Kedua adalah riya atas sifat-sifat ibadah, bukan terhadap ibadah tersebut bagian itu juga terbagi menjadi tiga tingkatan.
1.      Melakukan ibadah dengan sempurna apabila dilihat orang lain, apabila ia sendiri maka ia tetap mengerjakan dan menyebabkan mengurangi kesempurnaan ibadah itu. Misalnya orang yang bersedekah buah sedikit dan buah yang sudah tidak bagus, namun ketika dilihat orang maka dia bersedekah buah banyak dan masih segar. Hal itu ia lakukan semata-mata mengharapkan pujian dan takut  mendapatkan ejekan dari orang lain. Ini adalah perbuatan yang dimurkai Allah karena lebih mengutamakan makhluk dari pada sang penciptanya, akan tetapi dosanya tidak seperti riya atas ibadah.
2.      Melakukan sesuatu yang apabila ditinggalkan tidak mengurangi kualitas ibadah itu. Misalnya ketika ia dilihat orang shalatnya khusu tapi ketika sendirian ia tidak melakukan seperti itu.
3.      Melakukan ibadah sunnah dengan lebih sempurrna, seperti seorang yang ketika berada di wilayahnya atau bersama orang-orang yang dikenalnya, maka ia akan datang untuk shalat berjama’ah lebih dahulu dari pada yang lain dengan mengambil shaf pertama, atau berdiri dibelakang imam. Sedangkan jika di tempat yang lain tidak seperti itu.
Rukun ketiga: Objek riya
Seseorang yang beribadah karena ingin mendapat harta, kedudukan, pujian atau tujuan yan lain. Kategori ini juga memiliki tiga tingkatan.
1.      Tingkatan paling jelek adalah bertujuan untuk kemaksiatan. Misalnya ada seseorang yang menampilkan wajah kekhusuan, wara, banyak mengerjakan ibadah dengan tujuan agar dia dipercaya oleh masyarakat sebagai pengelola harta waqaf , anak yatim,sedekah dan zakat. Kemudian setelah ia mendapatkan kepercayaan, maka ia gunakan untuk kepentingan pribadi atau menarik hati perempuan. Orang-orang seperti ini kadang-kadang menghadiri majelis-majelis ilmu, mendengarkan al-Quran, dan ceramah dengan tujuan menarik simpati lawan jenis saja.
2.      Melakukan ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang halal, seperti seorang yang ketika berzikir selalu menampakkan kesedihan dan terkadang menangis, atau seseorang yang selalu memberikan ceramah tentang faedah bersedekah dengan tujuan agar mendapatkan harta atau menikahi wanita yang cantik dan terhormat.
3.      Melakukan sesuatu karena takut orang lain memberikan penilaian yang kurang baik terhadap dirinya. Misalnya ia melakukan shalat tarawih, tahajud, dan puasa senin kamis agar orang-orang tidak menilainya malas.[26]
E.     Cara menyembuhkan penyakit riya
Fokuskanlah hatimu kepada sang pemilik hati manusia yang berkuasa penuh atasnya. Dan engkau wahai hamba yang lemah dan tak berdaya, tidak akan bisa menguasai hatimu sendiri tanpa seizinnya. Oleh karena itu jika, riya jika dimaksudkan sebagai cara untuk menarik hati hamba hamba Allah dan memperoleh penghargaan atau penghormatan mereka, ketahuilah bahwa itu tidak akan membuahkan hasil karena semua berada di luar kendalimu dan berada di bawah kekuasaanya semata.[27] Artinya kita harus meluruskan niat bahwa setiap amal perbuatan kita menuju Tuhan yang Maha Esa, ketika hati kita telah lurus menuju-Nya, maka tujuan selainNya akan akan hilang berkat penjagaan Allah.
      Penjelasan diatas merupakan cara menyembuhkan riya menurut Imam Khomeini. Yang menganjurkan untuk pendekatan ketauhidan. Menurut Sa’id Hawa  ada dua tingkatan penyembuhan penyakit riya pertama, melepaskan sampai akar-akarnya, yang dimaksud dengan akar riya itu adalah senang mendapat pujian, takut mendapat ejekan  dan rakus terhadap apa yang dimiliki orang, dan  kedua mencegah akibat-akibat buruk dari penyakit riya ketika melakukan ibadah.
Lintasan-lintasan riya ada tiga macam cara pertama disebut mengetahui(ma’rifah), cara kedua disebut syahwat, dan ketiga disebut perbuatan yang  disebut azam atau tekad. Hendaklah kita selalu mengingatkan diri kita tentang apa tujuan kita melakukan ibadah itu, itulah yang disebut dengan (ma’rifah). Setelah kita mengetahui apa tujuan kita maka kita harus memilih tujuan mana yang mengantarkan kita kepada kebahagiaan yang hakiki. Jika ada tujuan untuk dunia semata, maka hendaknya kita menjauhkan diri dari sifat-sifat seperti itu.
F.     Faedah Tazkiyatun Nafs
            Jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesician jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir, dan batin. Itulah kekayaan sejati.[28]seseorang yang memiliki jiwa yang jernih akan tumbuh kebahagiaan dalam dirinya, akan tumbuh sifat-sifat baik dalam dirinya, memberikan keselamatan kepada semua orang dan mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)  Q.S Al-A’la: 14. Orang orang yang membersihkan diri sungguh beruntung di dunia dan akhirat, karena dengan mensucikan diri akan bertambah kedekatan bersama Allah swt. Orang yang sudah dekat denga Allah swt, maka setiap penglihatannya, pendengarannya, ucapannya adalah Allah dan di dalam hatinya yang terlihat hanya Allah swt



Penutup
A.  Kesimpulan
1.      Manusia pada hakikatnya mencintai kesucian dan kebersihan, baik itu lahir maupun batin. Tazkiyatun Nafs sebagai cara untuk menyucikan jiwa, ketika jiwanya bersih tentu badannya pun akan bersih. Makna dari tazkiyatun nafs adalah suatu amalan yang akan membuat orang yang melaksanakannya mencapai kebahagiaan hakiki, yang semuanya dilalui dengan melewati penyucian jiwa, yaitu dengan menjauhi maksiat-maksiat, sekecil apa pun itu.
2.      Ada tiga tahapan dalam Tazkiyatun nafs yaitu Takhalli, berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tecela, dan dari maksiat lahir atau pun batin. Tahalli, menghiasi diri dengan amal-amal sholeh dan tajalli, penghayatan ketuhanan, atau penghayatan kepada Tuhan, hingga lenyapnya hijab sifat-sifat kemanusiaan pada dirinya, dan dirinya bersatu dengan nur Tuhan.
3.      Langkah-langkah tazkiyatun nafs menurut al-Qur’an. Pertama, penyerahan diri kepada Allah, kedua selalu memaafkan orang yang berbuata keji kepada kita. Ketiga tidak mengikuti langkah-langkah setan. Keempat tidak senang menyebarkan kejelekan orang yang beriman. Kelima menjaga lisan.
4.      Faedaah Tazkiyatun nafs yaitu menyebabkan kejernihan diri, lahir, dan batin. Dan membuat kita lebih dekat dengan Tuhan.
B.     Saran
Kami menyarankan agar memulai dari sekarang untuk Tazkiyatun nafs, Apalagi untuk seorang pelajar. Ilmu itu adalah ibadah hati, maka ilmu tidak tidak akan masuk jika hati kita kotor. Dengan bertazkiyatun Nafs hati kita akan jernih dan ilmu yang akan kita dapatkan akan lebih bamyak.









Daftar Pustaka
Asmaran, Pengantar Studi Tasawwuf, Jakarta: PT Grafindo, 2002 M
Atjeh , Abuobakar, Pengantar Ilmu Tarikat, Aceh: CV. Ramadhani, 1999 M
Ceramah Said Aqil Siraj, Risalah, NET TV, 06 jan 16, pkl 05.30
Kaysani, Faidh, Tafsir Shoofi, Tehran: Manshurotussodhr, 1315 H
Hamka, Buya, Tasawuf Modern Bahagia itu Dekat dengan Kita Ada di dalam Diri Kita, Jakarta: Republika,  2015 M
Hawwa, Sa’id, Tazkiyatun Nafs, Jakarta: Darus Salam, 2005 M
Imam Thabatabhai, TafsirMizan, Qum: Hauzah Qom, 1417 H
Imam Jalalain, Tafsir Al-Jalalain, Beirut: Annur Matbuah, 1416 H
Khomeini, 40 hadis telaah atas hadis-hadis mistis dan akhlak, Jakarta: Mizan, 2004 M
Mushaf Nurul Quran, (Bandung: CV. Insan Kamil, 2011 M
Mushaf Al-Alim Edisi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Mizan,2011.
Munawwir, Warson,  Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M
Taufiq, Tazkiyatun Nafs, Lumajang: Lumajangpers, 2009 M

Link:
http;//edysuprianto32.blogdpot.co.id/2011/12/tazkiyatun-nafs.html/m=1, tgl. 21.02.16, pkl 22.00




[1]WarsonMunawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: PustakaProgressif, 1984), hal.578
[2]WarsonMunawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1446
[3]H. Taufiq, Tazkiyatunnafs (Lumajang: Lumajangpers, 2009), Hal. 15
[4]H. Taufiq, Tazkiyatunnafs. Hal. 15
[5]http;//edysuprianto32.blogdpot.co.id/2011/12/tazkiyatun-nafs.html/m=1, tgl. 21.02.16, pkl 22.00
[6]Mushaf Nurul Quran, (Bandung: CV. InsanKamil, 2011), hal 594
[7]Imam Thabatabhai, TafsirMizan, (Qom: Hauzah Ilmiah Qum, 1417 H), hal. 268
[8]Imam Jalalain, Tafsir Al-Jalalain, (Beirut: Annur Mathbuah, 1416  H), hal. 594
[9]Faidh Kasyani, Tafsir Asshofi,  (Tehran: Manshurotushodr, 1315 H), hal. 317
[10]Dr. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hal. 67
[11]Dr. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 68
[12]Dr. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 68
[13]Abuobakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarikat, (Aceh: CV. Ramadhani, 199), hal. 18
[14]Dr. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 68
[15]Ceramah Said Aqil Siraj, Risalah, NET TV, 06 jan 16, pkl 05.30
[16]Dr. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 71
[17]Dr. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 71
[18]Dr. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 74
[19] Mushaf Al-Alim Edisi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Mizan,2011.
[20] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs (Jakarta: Darus Salam, 2005) hal. 190
[21] Mushaf Al-Alim Edisi Ilmu Pengetahuan,(Bandung: Mizan,2011).
[22] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs , hal. 190
[23] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs,  hal. 207
[24] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs , hal. 207
[25] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs,  hal. 208
[26] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs (Jakarta: Darus Salam, 2005) hal. 209
[27] Imam Khomeini, 40 hadis telaah atas hadis-hadis mistis dan akhlak (Jakarta: Mizan, 2004)hal.39

[28] Hamka, Tasawuf Modern Bahagia itu Dekat dengan Kita Ada di dalam Diri Kita(Jakarta: Republika, 2015).hal. 171

0 komentar:

Posting Komentar