BAB II
A.
Pengertian Tazkiyatunnafsi
Tazkiyatun nafsi berasal dari bahasa Arab yaitu تزكية النفس , dimana kalimat tersebut merupakan gabungan
dari dua kata, yaitu tazkiyah (تزكية)
yang berarti bersih [1], dan an-nafsi (النفس) yang artinya jiwa [2].
Yang kemudian digabungkan dua kata tersebut sehingga mengandung arti bahwa tazkiyatunnafsi adala membersihkan
hati.
Sedangkan secara istilah, tazkiyatun nafsi adalah suatu upaya pengkondisian spiritual
agar jiwa merasa tenang, tentram, dan senang berdekatan dengan Allah, yaitu dengan cara ibadah. [3]
Menurut Imam
Al-Ghazali, Tazkiyatun nafsi adalah upaya penyucian jiwa seseorang agar terhindar dari sifat-sifat tercela. [4]
Pendapat lain mengatakan bahwa, tazkiyatunnafsi yaitu menghindarkan,
atau menjauhkan hati sesuai fitrahnya, yaitu fitrah iman, islam, dan ihsan kepa
Allah. [5]
Dari tiga definisi di atas, yakni definisi secara etimologi
dan definisi secara terminologi, dapat kita turunkan maknanya bahwa tazkiyatun nafsi
adalah bagaimana seorang hamba berupaya untuk kembali kepada fitrahnya, yaitu menghindari
sifat-sifat tercela, dan menguatkan iman, islam, serta ikhsan yang merupakan
basis keutuhan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Karena bagaimanapun, tidak dapat
dipungkiri, bahwa manusia adalah diciptakan oleh Dzat yang baik dan bersih,
sehingga pada intinya kita semua mampu untuk menginstall diri untuk menjadi bersih
dan suci dari sifat-sifat tercela.
Dalam Al-Quran, ayat yang
menjelaskan dan menyinggung gmengenai tazkiyatunnafsi cukup banyak. Salah satu ayat yang menjadi dasar tazkiyatunnafsi
– dengan memandang pada arti yang dimaksud – , yaitu surat Al-A’la ayat 14, yang berbunyi:
Sesungguhnya beruntunglah
orang yang membersihkan diri (dengan beriman)
Dari kandungan makna yang
ditunjukkan ayat ini sungguh pun sangat beruntung siapa saja yang membersihkan dirinya
melalui iman, yakni membersihkan dirinya agar memiliki iman yang tebal dan terhindar
dari sifat-sifat yang dicela Allah, hingga akhirnya seseorang yang demikian akan
memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Para Mufassir Masyhur, dalam kraya fenomenal mereka masing-masing memiliki pandangan yang cukup hebat akan apa maksud Allah SWT dalam ayat tersebut di atas. Pertama, Imam ThabaThaba’i dalamTafsir
Al-Mizannya mengatakan seperti berikut:
«قَدْ أَفْلَحَ
مَنْ تَزَكَّى» التزكي هو التطهر و المراد به التطهر من ألواث التعلقات الدنيوية
الصارفة عن الآخرة[7]
Bahwa, yang dimaksud
‘’Tazakka’’ dalam ayat tersebut adalah suci, dan yang dikehendaki dari suci itu adalah suci dari kotoran-kotoran yang
kaitannya dengan keduniawian, sehingga hal tersebut akan melalaikan dirinya untuk mengingat akhirat.
Sedangkan Imam Jalalain (SuyutidanMahalli),
memaparkan maksud ‘’Tazakka’’ yang memiliki arti suci, adalah sebagai berikut:
Bahwa, tafsiranayat di atas adalah sungguh bahagia orang yang membersihkan, yaitu orang yang membersihkan dirinya dengan ‘’iman’’.
Pernyataan dua imam agung ini lebih mengedepankan secara langsung untuk membersihkan jiwa kita dengan menggunakan kesucian iman.
Selanjutnya adalah pernyataan seorang tokoh Syiah, Faidh Kasyani dalam Tafsir Ashoofi, beliau memaksudkan ayat di atas, yang kaitannya dengan tazkiyatun nafsi, sebagai berikut:
Bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang bersih, yakni bersih dari syirik dan maksiat.
Jika kita tilik secara teliti, yang menarik dari pernyataan ulama satu ini cukup universal, beliau yakni menyebutkan bersih dari maksiat.Artinya bahwa sungguh orang yang melakukan tazkiyatun nafsi adalah mereka yang menjauhi segala bentuk dosa, baik dosa besar, atau pun dosa sekecil mungkin.Sehingga kemudian dirinya akan dicap sebagai orang yang beruntung di dunia atau pun akhiratnya.
Kalau kita kaitkan satu sama lain dari tiga pendapat Mufassir mengenai bersih dalam ayat di atas, yang merupakan basis bertazkiyatun nafsi, adalah bahwa orang yang berbahagiaadalah orang
yang hatinyabersihdaridosaataukotoran-kotoranjiwa, dengan melalui penguatan iman.
Antara definisi yang didapat dari etimologi dan terminology yang telah dipaparkan sebelumnya dengan tafsiran para ulama masyhur di atas, bahwa Tazkiyatunnafsi, yaitu suatu amalan yang akan membuat orang yang melaksanakannya mencapai kebahagiaan hakiki, yang semuanya dilalui dengan melewati penyucian jiwa, yaitu dengan menjauhi maksiat-maksiat, sekecil apa pun itu.
B. Tahap-tahap Penyucian Jiwa (Tazkiyatun nafs)
Piring yang padanya terdapat noda, atau piring yang lama tidak disentuh
oleh pemiliknya, akan terlihat keruh, kotor, penuh debu bagi siapa saja yang
memandangnya. Terlebih jika piring tersebut sudah dipakai untuk wadah apa saja,
wadah sayuran, semur, lauk pauk, dll. Pasti akan terlihat tidak enak dipandang jika
setelah dipakainya tidak digosok dan dicuci menggunakan pembersih (sabun).
Begitulah seperti
di atas, jiwa manusia, tidak akan bersih sehingga mendapatkan kebahagiaan yang
hakiki dari Allah SWT, jika hatinya selalu didiamkan, terlebih jika setiap saatnya
berlumuran dengan dosa, baik dosahati, dosa mata, atau dosa lainnya yang
ditimbulkan dari diri seorang hamba. Sehingga hatinya terkesan bengkok dan jauh
di mata Allah SWT untuk diberi keberuntungan hakiki.
Hal di atas,
bukanhal yang mustahil untuk kemudian seseorang yang terjangkit atau bahkan kronis
dalam dosa, untuk menghanguskan dosa-dosanya, dan terus berusaha sekeras mungkin
membumi hanguskan sifat-sifat tercela, jalannya yaitu dengan Tazkiyatun nafs.Sebagai
suatu konsep untuk menyucikan hati, sudah pasti ada metode yang dikehendaki di
dalamnya.
Dalam pandangan kaum sufi, manusia memang cenderung mengikuti hawa
nafsunya. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di
dunia. Menurut Imam Al-Ghazali, hidup yang seperti demikian itu akan membawa
kepada jurang kehancuran. Sebab seorang yang demikan adalah menjadikan dunia
sebagai tujuan utama, bukan menjadikannya sebagai sarana untuk menuju
kebahagiaan atau kenikmataan hakiki. [10]
Jika kita kembali kepada definisi Tazkiyattunafsi yang telah
dipaparkan di awal, adalah bahwa jiwa manusia akan menjadi bersih dan suci dari
sifat-sifat tercela, baik yang timbul dari lahiriyah, atau pun bathiniyyah atau
sifat tercela yang ditumbulkan hati, semua itu jika diinstall dengan
pembersihan jiwa, yaitu dengan kembali kepada fitrah manusia, mengedepankan
iman, islam, dan ihsan, sehingga kemudian dirinya akan menjadi hamba Allah yang
suci, hingga akhirnya dirinya disebut (dalam pandangan orang, bukan menurut
dirinya – penj) sebagai ‘’orang sufi’’.
Dalam ajaran sufi, hal tersebut bisa dilaksanakan dengan
menggunakan tahapan-tahapannya, yaitu tahapan membersihkan jiwa, yang hal ini
dinamakan sebagai usaha untuk menyingkap tabir penghalang antara manusia dengan
Tuhannya, tahapan tersebut terdiri dari takhalli, tahalli, dan tajalli. [11]
Tahapan penyucian jiwa yang pertama adalah Takhalli. Takhalli,
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tecela, dan dari maksiat lahir atau
pun batin.[12]Diantara
sifat-sifat yang tercela yang meskinya dihilangkan dalam membersihkan hati
adalah: Hasud (Dengki) , Haqd (Benci), Kibir (Sombong), Ujub (Pamer), Bukhul
(Pelit), Riya (Ingin dilihat orang), Hubbul Jaah (Cinta kedudukan) , Hubbul
Maal (Cinta dunia) ,Marah; lebih kepada balas dendam, Ghibah (Menggunjing),
Namimah (Mengadu), Kidzb (Bohong), Syahrul Kalam (Mengeraskan ucapan), dan
lain-lain. [13]
Pada dasarnya,
sifat yang tercela itu bukan hanya yang disebutkan di atas, yang itu merupakan
kejahatan yang ditimbulkan dari hati. Tetapi, sungguh pun tak terhitung
sifat-sifat yang dicap sebagai tercela dan membahayakan bagi diri, masyarakat
sekitar, dan juga bangsa.
Sifat-sifat
tercela lahiriyah ini yang pada gilirannya juga akan berakibat fatal bagi diri
seorang yang melakukan, seperti mencuri, mencopet, korupsi, dan sebagainya. [14]
Dan ketahuilah, semua itu, baik sifat tercela lahiririyah atau pun
bathiniyah, kemudian jika tidak secepatnya diobati, akan tercemar di masyarakat
umum, akan menyebar di satu desa, satu kecamatan, satu kabupaten, bahkan satu
provinsi dan seluruh elemen bangsa akan mewarisi tindakan yang demiikian ini.
Semua itu yang akan menhancurkan martabat bangsa. [15]
Kedua sifat di ataslah yang mengotori jiwa setiap waktu, yang
mempertebal dinding diri seorang yang melakukaannya dengan Tuhannya. Karena itu
sebagai tahapan awal, sifat-sifat di atas harus dibumi hanguskan dan dilepas
serta dibuang jauh-jauh, agar kemudian diisi dengan sifat-sifat yang terpuji
untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
Tahapan kedua, adalah
Tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan
batin. [16]setelahnya
hati seseorang telah kosong dari sifat tercela, maka tahap kemudian dengan
mengisinya dengan amalan-amalan yang terpuji. Sifat sifat ini baik yang berupa
sifat ‘’luar’’ atau pun ‘’dalam’’. Yang dimaksud dengan sifat luar adalah
seperti melakukan shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud sifat dalam adalah seperti ikhlas, iman, ridho, qonaah, dan
sebagainya. [17]
Jika sifat-sifat
terpuji tersebut dilakukan secara teratur dan istiqomah, maka tidak dipungkiri
akan menjadi malakah atau kebiasaan bagi seseorang yang dalam tahap menyucikan
jiwa tersebut. Dan tentunya hatinya akan menjadi terang, berbeda dengan sebelum
diinstall dengan sifat-sifat tersebut di atas. Maka, ketika seseorang telah
bisa untuk melaksanakan tahapan di atas, dari sukses melakukan tahap pertama,
yakni takholli, dan kedua, yakni tahalli, maka dipastikan seluruh hidup dan
gerak-gerik kehidupannya akan diikhlaskan semuanya semata karena Allah.
Sehingga dirinya akan mampu untuk mendekat kepada Allah SWT.
Sebagai akhir
bahasan dari tahapan tazkiyatunnafsi ini, bahwa apabila jiwa seseorang telah
terisi dengan sifat-sifat mulia, dan organ tubuhnya sudah terbiasa untuk
melakukan amal-amal saleh, maka supaya hasil yang diperoleh tidak berkurang,
perlu adanya penghayatan ketuhanan, atau penghayatan kepada Tuhan, hingga lenyapnya
hijab sifat-sifat kemanusiaan pada dirinya, dan dirinya bersatu dengan nur
Tuhan, yang ini dalam ilmu tashawwuf dinamakan dengan Tajalli. [18]
C.
Aplikasi Pendidikan Hati
Thariqah dalam
ilmu tasawuf yang harus dijalankan oleh seorang sufi adalah tazkiyatun nafs,
menyucikan diri. Sebagaimana telah di uraikan di atas secara ringkas tazkiyatun
nafs itu berarti menyucikan diri dari perbuatan syirik dan cabang-cabangnya
(riya, sombong, dll). Menanamkan nilai-nilai ketauhidan dan cabang-cabangnya.
Serta menerapkan perbuatan sesuai dengan ibadah kepada Allah dan mengikuti
sunnah-sunnah Rasulullah. Teori ini dalam tasawuf kita kenal Takhalli, Tahalli,
dan Tajalli. Pada pembahasan kali ini penulis akan memaparkan sebuah metode
tazkiyatun nafs menurut al-Quran dan satu contoh sifat yang harus dibersihkan
atau disucikan oelh seorang sufi. Sebenarnya banyak tema dalam tazkiyatun nafs
ini, namun karena keterbatasan penulis baik dari pemahaman maupun waktu.
Sehingga penulis memilih satu tema saja yang paling penting.
Allah swt
berfirman dalam Q.S an-Nuur [24]: 21.
“wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka
sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau
bukan karena karunia Allah dan rahmar-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun
di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dia kehendaki. Dan Allah maha mendengar,
Maha mengetahui”.[19]
Ayat ini turun setelah peristiwa ifik (tuduhan perzinahan kepada
istri nabi, Siti Aisyah). Ayat ini terletak setelah ayat yang melarang
menyebarkan aib (kejelekan) orang-orang mukmin. Dan setelah ayat yang melarang
mengikuti langkah-langkah setan.[20]
Dan Allah swt berfirman:
Dan janganlah orang-orang yang mempuyai kelebihan dan kelapangan
antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada
kerabat(nya), orang-oraang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan
Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha penyayang”.[21]
Dari kedua ayat ini kita bisa mendapatkan beberapa kesimpulan yang
menunjukan metode atau langkah untuk Tazkiyatun Nafs:
1.
Tazkiyatun
nafs merupakan sesuatu yang sangat sulit dan mustahil dapat dilakukan oleh
manusia tanpa pertolongan Allah. Sehingga dalm hal ini ada dua hal yang penting
untuk diperhatikan yaitu sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah. Dalam
tazkiyatun nafs harus mempunyai kesungguhan dalam melakukannya dan
keistiqomahan karena kalau tidak, maka tingkatan maqam kita tidak akan
meningkat.kemudian Ditambah dengan iringan doa yang harus selalu kita panjatkan
kepada Allah swt agar diberikan kemudahan dan keistiqomahan. Berikut hadis yang
dianjurkan Nabi,
اللهم ا ت نفسي تقواها وزكها انت خير من زكها انت وليها ومولاها
Artinya: “Ya Allah berikan kepada diriku ketaqwaan dan kesucian
diri, sesungguhnya engkau adalah sebai-baiknya zat yang membersihkan (hati
manusia) dan engkau adalah penolong bagi merka yang membersikan diri”.(H.R
Muslim)
2.
Salah
satu menyucikan diri adalah denagan memaafkan dan melapangkan hati terhadap
orang yang melakukan perbuatan jelek kepada kita. Dalam surah An-Nuur ayat 22 –
turun berkaitan dengan peristiwa ifik, yaitu Misthoh bin Utsatsah, ia adalah
seorang yang selalu mendapat santunan dari Abu Bakar akan tetapi ia menyebarkan
fitnah bahwa aisyah telah melakukan perselingkuhan. Abu bakar sangat marah dan
bersumpah tidak akan memberikan ia santunan lagi, maka turunlah ayat ini dan
Abu Bakar kembali memberikan santunan kepadanya. Sungguh tinggi kedudkan Abu
bakar sehingga ia mendapatkan teguran khusus dari al-Qur’an.
3.
Menyucikan
diri adalah tidak mengikuti langkah-langkah setan karena setan adalah zat yang
selalu mengajak kepada perbuatan keji (fakhisyah) dan kemungkaran. Diantara
langkah-langkah setan, seperti mengikuti kehendak nafsu, marah, dan ghibah.
4.
Tidak
senang menyebarkan kejelekan yang dilakukan orang beriman dan tidak mengerjakan
perbuatan-perbuatan keji, baik secara langsung atau tidak langsung. dan
5.
Menjaga
lisan dari menuduh orang lain atau mengatakan sesuatu yang menyakiti hati
orang-orang beriman, kecuali memlilki bukti yang kuat.[22]
Dari penjelasan di atas kita ada lima langkah tazkiyatun nafs
yaitu, pertama hendaklah seorang yang ingin menyucikan jiwannya mempunyai
kesungguhan dalam menjalankannya. Sehinnga keinginan tazkiyatun nafs tidak
putus di tengah jalan. Kemudian diiringi dengan doa kepada Allah swt, karena
manusia lemah tak berdaya hanya karena rahmat dan karunia –Nya lah kita mampu
menyucikan diri. Kedua seorang yang ingin menyucikan diri harus mempunyai sifat
pemaaf kepada orang yang melakukan perbuatan jelek kepada kita, sebagaimana
Nabi memaafkan orang yang selalu meludahinya bahkan ia jenguk ketika ia sakit –
dan luar biasa berkat keutamaan akhlak Nabi ia bisa masuk islam. Ketiga harus
berhati-hati jangan sampai kita mengikuti langkah0langkah syetan. Keempat
jenganlah menyebarkan kejelekan yang dilakukan orang yang beriman dan tidak
mengerjakan perbuatan keji. Kelima hendaknya menjaga lisan kita dari perkataan
yang menyakiti hati orang lain.
D.
Penyakit hati yang harus di sucikan yaitu sifat ’Syirik dan Riya’
Syirik merupakan
penyakit hati yang berbahaya bagi manusia karena syirik adalah menyipati
ketuhanan kepada sesuatu yang tidakberhak menerimanya, dan menyembah kepada
sesuatu yang tidak pantas disembah, misalnya menuhankan batu, gunung, pohon,
manusia atau satu kelompok[23]
Bagi orang yang telah
menanamkan dalm dirinnya ketauidan maka akan terhindar dari perbuatan ini. Akan
tetapi tidak mustahil disusupi dengan syirik kecil yang tersembunyi. Yang
disebut dengan riya , yaitu apabila ia beribadah dengan tujuan utuk seseorang
atau kelompok.[24]
Sifat inilah yang tidak hanya kepada orang yang lemah imannya, bahkan kepada
seorang yang tingkat ketauhidannya kuat bisa disuupi dengan sifat riya. Kita
berdoa kepada Allah mudah-mudahan hati kita dijauhkan dari sifat riya.
Sebenarnya banyak pembahasan sifat yang harus dibersihkan orang seorang sufi
namun disini penulis hanya memilih satu tema yang mudah-mudahan bisa kita
lakukan. Karena kita tidak akan mengetahui bahwa itu adalah dosa kalau kita
tidak mengetahui ilmunya. Berikut penulis akan menjelaskan tentang rukun riya
yang terbagi menjadi tida macam yaitu: tujuan riya, perbuatan riya, dan objek
riya.[25]
Rukun pertama: Tujuan Riya
Banyak tujuan
seseorang melakukan riya, ada karena ingin dilihat orang, takut diejek orang,
atau karena ada maksud tertentu. Dalam pembahasan tujuan riya ini ada empat
tingkatan yaitu;
1.
Melakukan
ibadah tanpa tujuan sama sekali untuk memperoleh pahala dari Allah, seperti
seseorang yang hanya melakukan shalat apabila di hadapan orang lain, sedangkan
apabila ia sendiri, maka ia tidak melakukan shalat, atau ia melakukan shalat di
hadapan orang-orang tanpa dengan wudhu’ karena shalat yang ia lakukan hanya
agar orang lain mengetahui bahwa ia melakukan shalat. Orang seperti ini akan
mendapat azab dari Allah. Ini adalah tingkat tertinggi dalam perbuatan riya.
2.
Seseorang
yang beribadah, selain ingin mendapat pahala, juga ingin mendapat pujian dari
orang lain. Artinya apabila tidak ada orang yang melihatnya maka ibadah itu
tidak ia lakukan. Kedudukan ini tidak jauh beda dengan kedudukan
sebelumnya(tingkatan pertama). Orang ini pun mendapat azab dari Allah.
3.
Seorang
yang keinginan mendapat pahala dan keinginan untuk mendapat pujian atau
diketahui orang (riya) sama besarnya. Artinya ketika salah satu dari keduanya
tidak ada, maka ia tidak mengerjakannya. Akan tetapi apabila keduanya ada. Maka
ia mengerjakan ibadah tersebut. Orang ini akan mendapatkan pahala dan dosa yang
sama besarnya. Menurut pemahaman hadits Nabi orang ini tetap tidak selamat dari
azab Allah.
4.
Seseorang
yang apabila dilihat orang , maka ibadah yang ia lakukan lebih baik dari pada
ketika sendiri. Akan tetapi walaupun tidak ada yang melihat, ia tetap
megerjakan ibadah itu. Orang seperti ini tidak menggugurkan pahalanya akan
tetapi hanya mengurangi sebatas riya yang dilakukannya dan mendapat pahala
sebatas keinginan atas pahalanya.
Rukun Kedua: Perbuatan Riya
Perbuatan riya dibagi menjadi dua kategori. Pertama riya atas
ibadah. Kedua riya atas sifat-sifat ibadah
Riya atas ibadah juga terbagi menjadi tiga tingkatan
1.
Riya
atas keimanan, ini adalah perbuatan yang paling buruk. Karena pelakunya akan
kekal di dalam neraka. Orang seperti ini adalah dari dhohirnya muslim akan
tetapi batinnya kafir atau ia mengucapkan shahadat tapi, di dalam hatinya
meningkari. Allah menyebutkan tentang orang yang seperti ini di dalam al-Qur’an.
(al-Munafiqun [63]: 1), (al-Baqarah[2]: 205-206), (ali-Imran[3]: 119),
(an-Nisa[4]: 143).
2.
Riya
atas ibadah fardhu. Ini pun merupakan dosa yang sangat besar, tetapi tidak sama
dengan yang pertama (riya atas keyakinan). Seperti seorang yang hartanya di
pegang oleh orang lain dan ia memerintahkan untuk mengeluarkan zakat karena
takut mendapat ejekan dari orang lain. Jika harta itu ia pegang sendiri, maka
ia tidak akan mengeluatkan zakat dan allah mengetahui.
3.
Riya
atas ibadah sunnah, seperti menghadiri shalat jama’ah, shalat dan memandikan
jenazah, menengok orang sakit, shalat tahajud, puasa arapah,Asyura, atau senin
kamis. Mereka mengerjakan ibadah-ibadah ini semata-mata karena mengharapkan
pujian dan takut mendapatkan ejekan dari orang lain.
Kedua adalah riya atas sifat-sifat ibadah, bukan terhadap ibadah
tersebut bagian itu juga terbagi menjadi tiga tingkatan.
1.
Melakukan
ibadah dengan sempurna apabila dilihat orang lain, apabila ia sendiri maka ia
tetap mengerjakan dan menyebabkan mengurangi kesempurnaan ibadah itu. Misalnya
orang yang bersedekah buah sedikit dan buah yang sudah tidak bagus, namun
ketika dilihat orang maka dia bersedekah buah banyak dan masih segar. Hal itu
ia lakukan semata-mata mengharapkan pujian dan takut mendapatkan ejekan dari orang lain. Ini
adalah perbuatan yang dimurkai Allah karena lebih mengutamakan makhluk dari
pada sang penciptanya, akan tetapi dosanya tidak seperti riya atas ibadah.
2.
Melakukan
sesuatu yang apabila ditinggalkan tidak mengurangi kualitas ibadah itu.
Misalnya ketika ia dilihat orang shalatnya khusu tapi ketika sendirian ia tidak
melakukan seperti itu.
3.
Melakukan
ibadah sunnah dengan lebih sempurrna, seperti seorang yang ketika berada di
wilayahnya atau bersama orang-orang yang dikenalnya, maka ia akan datang untuk
shalat berjama’ah lebih dahulu dari pada yang lain dengan mengambil shaf
pertama, atau berdiri dibelakang imam. Sedangkan jika di tempat yang lain tidak
seperti itu.
Rukun ketiga: Objek riya
Seseorang yang beribadah karena ingin mendapat harta, kedudukan,
pujian atau tujuan yan lain. Kategori ini juga memiliki tiga tingkatan.
1.
Tingkatan
paling jelek adalah bertujuan untuk kemaksiatan. Misalnya ada seseorang yang
menampilkan wajah kekhusuan, wara, banyak mengerjakan ibadah dengan tujuan agar
dia dipercaya oleh masyarakat sebagai pengelola harta waqaf , anak
yatim,sedekah dan zakat. Kemudian setelah ia mendapatkan kepercayaan, maka ia
gunakan untuk kepentingan pribadi atau menarik hati perempuan. Orang-orang
seperti ini kadang-kadang menghadiri majelis-majelis ilmu, mendengarkan
al-Quran, dan ceramah dengan tujuan menarik simpati lawan jenis saja.
2.
Melakukan
ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang halal, seperti seorang yang
ketika berzikir selalu menampakkan kesedihan dan terkadang menangis, atau
seseorang yang selalu memberikan ceramah tentang faedah bersedekah dengan
tujuan agar mendapatkan harta atau menikahi wanita yang cantik dan terhormat.
3.
Melakukan
sesuatu karena takut orang lain memberikan penilaian yang kurang baik terhadap
dirinya. Misalnya ia melakukan shalat tarawih, tahajud, dan puasa senin kamis
agar orang-orang tidak menilainya malas.[26]
E.
Cara menyembuhkan penyakit riya
Fokuskanlah
hatimu kepada sang pemilik hati manusia yang berkuasa penuh atasnya. Dan engkau
wahai hamba yang lemah dan tak berdaya, tidak akan bisa menguasai hatimu
sendiri tanpa seizinnya. Oleh karena itu jika, riya jika dimaksudkan sebagai
cara untuk menarik hati hamba hamba Allah dan memperoleh penghargaan atau
penghormatan mereka, ketahuilah bahwa itu tidak akan membuahkan hasil karena
semua berada di luar kendalimu dan berada di bawah kekuasaanya semata.[27]
Artinya kita harus meluruskan niat bahwa setiap amal perbuatan kita menuju
Tuhan yang Maha Esa, ketika hati kita telah lurus menuju-Nya, maka tujuan
selainNya akan akan hilang berkat penjagaan Allah.
Penjelasan diatas
merupakan cara menyembuhkan riya menurut Imam Khomeini. Yang menganjurkan untuk
pendekatan ketauhidan. Menurut Sa’id Hawa
ada dua tingkatan penyembuhan penyakit riya pertama, melepaskan sampai
akar-akarnya, yang dimaksud dengan akar riya itu adalah senang mendapat pujian,
takut mendapat ejekan dan rakus terhadap
apa yang dimiliki orang, dan kedua
mencegah akibat-akibat buruk dari penyakit riya ketika melakukan ibadah.
Lintasan-lintasan riya ada tiga macam cara pertama disebut
mengetahui(ma’rifah), cara kedua disebut syahwat, dan ketiga disebut perbuatan
yang disebut azam atau tekad. Hendaklah
kita selalu mengingatkan diri kita tentang apa tujuan kita melakukan ibadah
itu, itulah yang disebut dengan (ma’rifah). Setelah kita mengetahui apa tujuan
kita maka kita harus memilih tujuan mana yang mengantarkan kita kepada
kebahagiaan yang hakiki. Jika ada tujuan untuk dunia semata, maka hendaknya
kita menjauhkan diri dari sifat-sifat seperti itu.
F.
Faedah Tazkiyatun Nafs
Jiwa adalah harta
yang tiada ternilai mahalnya. Kesician jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir,
dan batin. Itulah kekayaan sejati.[28]seseorang
yang memiliki jiwa yang jernih akan tumbuh kebahagiaan dalam dirinya, akan
tumbuh sifat-sifat baik dalam dirinya, memberikan keselamatan kepada semua
orang dan mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) Q.S Al-A’la: 14. Orang orang yang membersihkan diri sungguh beruntung di
dunia dan akhirat, karena dengan mensucikan diri akan bertambah kedekatan
bersama Allah swt. Orang yang sudah dekat denga Allah swt, maka setiap
penglihatannya, pendengarannya, ucapannya adalah Allah dan di dalam hatinya
yang terlihat hanya Allah swt
Penutup
A.
Kesimpulan
1.
Manusia
pada hakikatnya mencintai kesucian dan kebersihan, baik itu lahir maupun batin.
Tazkiyatun Nafs sebagai cara untuk menyucikan jiwa, ketika jiwanya bersih tentu
badannya pun akan bersih. Makna dari tazkiyatun nafs adalah suatu amalan yang
akan membuat orang yang melaksanakannya mencapai kebahagiaan hakiki, yang
semuanya dilalui dengan melewati penyucian jiwa, yaitu dengan menjauhi
maksiat-maksiat, sekecil apa pun itu.
2.
Ada
tiga tahapan dalam Tazkiyatun nafs yaitu Takhalli, berarti membersihkan diri
dari sifat-sifat tecela, dan dari maksiat lahir atau pun batin. Tahalli,
menghiasi diri dengan amal-amal sholeh dan tajalli, penghayatan ketuhanan, atau
penghayatan kepada Tuhan, hingga lenyapnya hijab sifat-sifat kemanusiaan pada
dirinya, dan dirinya bersatu dengan nur Tuhan.
3.
Langkah-langkah
tazkiyatun nafs menurut al-Qur’an. Pertama, penyerahan diri kepada
Allah, kedua selalu memaafkan orang yang berbuata keji kepada kita. Ketiga
tidak mengikuti langkah-langkah setan. Keempat tidak senang menyebarkan
kejelekan orang yang beriman. Kelima menjaga lisan.
4.
Faedaah
Tazkiyatun nafs yaitu menyebabkan kejernihan diri, lahir, dan batin. Dan
membuat kita lebih dekat dengan Tuhan.
B.
Saran
Kami menyarankan agar memulai dari sekarang untuk Tazkiyatun nafs,
Apalagi untuk seorang pelajar. Ilmu itu adalah ibadah hati, maka ilmu tidak
tidak akan masuk jika hati kita kotor. Dengan bertazkiyatun Nafs hati kita akan
jernih dan ilmu yang akan kita dapatkan akan lebih bamyak.
Daftar Pustaka
Asmaran, Pengantar Studi Tasawwuf,
Jakarta: PT Grafindo, 2002 M
Atjeh , Abuobakar, Pengantar Ilmu Tarikat, Aceh: CV.
Ramadhani, 1999 M
Ceramah Said Aqil Siraj, Risalah, NET TV, 06 jan 16, pkl 05.30
Kaysani, Faidh, Tafsir Shoofi, Tehran: Manshurotussodhr,
1315 H
Hamka, Buya, Tasawuf Modern
Bahagia itu Dekat dengan Kita Ada di dalam Diri Kita, Jakarta: Republika, 2015 M
Hawwa, Sa’id, Tazkiyatun Nafs,
Jakarta: Darus Salam, 2005 M
Imam Thabatabhai, TafsirMizan, Qum:
Hauzah Qom, 1417 H
Imam
Jalalain, Tafsir Al-Jalalain, Beirut: Annur Matbuah, 1416 H
Khomeini, 40 hadis telaah atas hadis-hadis mistis dan akhlak,
Jakarta: Mizan, 2004 M
Mushaf Nurul Quran, (Bandung: CV. Insan Kamil, 2011 M
Mushaf Al-Alim Edisi Ilmu
Pengetahuan, Bandung: Mizan,2011.
Munawwir, Warson, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M
Taufiq, Tazkiyatun Nafs, Lumajang: Lumajangpers, 2009 M
Link:
http;//edysuprianto32.blogdpot.co.id/2011/12/tazkiyatun-nafs.html/m=1, tgl. 21.02.16, pkl 22.00
[1]WarsonMunawwir, Kamus Al-Munawwir,
(Yogyakarta: PustakaProgressif, 1984), hal.578
[2]WarsonMunawwir, Kamus Al-Munawwir,
hal. 1446
[3]H. Taufiq, Tazkiyatunnafs
(Lumajang: Lumajangpers, 2009), Hal. 15
[4]H. Taufiq, Tazkiyatunnafs.
Hal. 15
[9]Faidh
Kasyani, Tafsir Asshofi, (Tehran: Manshurotushodr, 1315 H), hal. 317
[10]Dr.
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2002), hal. 67
[11]Dr.
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 68
[12]Dr. Asmaran AS,
Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 68
[14]Dr. Asmaran AS,
Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 68
[16]Dr. Asmaran AS,
Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 71
[17]Dr. Asmaran AS,
Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 71
[18]Dr. Asmaran AS,
Pengantar Studi Tasawwuf, hal. 74
[19] Mushaf Al-Alim
Edisi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Mizan,2011.
[20] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun
Nafs (Jakarta: Darus Salam, 2005) hal. 190
[22] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun
Nafs , hal. 190
[23] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun
Nafs, hal. 207
[24] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun
Nafs , hal. 207
[25] Sa’id Hawwa, Tazkiyatun
Nafs, hal. 208
[28] Hamka, Tasawuf
Modern Bahagia itu Dekat dengan Kita Ada di dalam Diri Kita(Jakarta:
Republika, 2015).hal. 171
0 komentar:
Posting Komentar