Ilmu adalah hewan liar, maka ikatlah dia dengan tulisan<\marquee>

Rabu, 03 Agustus 2016

Makalah IBD tentang Keadilan dan Budaya Islam




BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kalimat tersebut merupakan salahsatu sila dari Pancasila yakni sila ke-2, yang berarti di haruskannya seseorang memiliki sikap untuk menegakkan keadilan serta memiliki adab dalam bertingkah laku, yang memiliki artian yakni memanusiakan manusia. Di dalam Islam sudah menjadi hal yang wajib  untuk setiap manusia menegakkan keadilan. Karena manusia adalah seorang khalifah (pemimpin) di muka bumi ini, sesuai dengan firman Nya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata,“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan kepadanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?” Tuhan berfirman, ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[1]
Sebagai seorang khalifah seorang manusia telah Allah ciptakan secara sempurna serta dilengkapi dengan sifat-sifat yang baik dan lebih mulia dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya, seperti hewan ataupun tumbuhan. Manusia memiliki intelegentsi yang tinggi serta dilengkapi dengan akal yang mampu berpikir secara rasio dan memiliki kesadaran moral sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia juga mampu menjadi seorang yang lebih mulia dibandingkan malaikat, melalui karunia kemuliaan dan kecenderungan dekat kepada Tuhannya.
Melalui sifat-sifat tersebut maka wajarlah seorang manusia mampu menjadi khalifah di muka bumi ini. Sudah barang tentu seorang pemimpin memiliki tugas untuk menegakkan keadilan atas apa yang ia pimpin.
Berbicara tentang keadilan, keadilan adalah topik yang sangat komplek untuk dibahas. Karena pembahasan keadilan dapat di tinjau dari berbagai aspek, baik aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum, ataupun filsafat. Maka apabila kita berbicara tentang keadilan, pemaknaannya akan berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Dalam makalah ini penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang keadilan dalam berbagai aspek. Namun penulis akan lebih fokus memaparkan hubungan antara konsep keadilan islam dalam kehidupan manusia berdasarkan budaya islam itu sendiri.

B.     Fokus Permasalahan
Dalam kehidupan ini, semua orang akan menuntut keadilan dalam hidupnya, maka apabila seseorang ingin terwujud keadilan di dalam hidupnya. Melalui dasar al-Qur’anlanh keadilan sesungguhnya akan terwujud.
Maka dalam makalah kami akan fokus membahas keadilan islam dalam kehidupan manusia berdasarkan budaya islam itu sendiri
C.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna keadilan secara umum?
2.      Apa makna keadilan dalam konsep Islam?
3.      Apa makna keadilan dalam kehidupan manusia?
4.      Apa makna budaya Islam?
5.      Apa relasinya antara keadilan dalam kehidupan manusia berdasarkan budaya islam?

D.    Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.      Mengetahui makna keadilan secara umum.
2.      Mengetahui makna keadilan dalam Islam dan dampak bagi kehidupan manusia.
3.      Mengetahui makna budaya islam dan relasinya dengan keadilan dalam kehidupan manusia
Manfaat penulisan makalah ini:
1.      Mendapatkan wawasan yang lebih mendalam mengenai keadilan, agar mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Bisa memaknai secara mandiri tentang keadilan-keadilan di dalam berbudaya, khususnya budaya yang islami.
3.      Mampu memikirkan dan mengeluarkan pendapat tentang bagaimana seharusnya keadilan itu dapat terwujud.
4.      Menjadikan hukum-hukum agama itu sebagai suatu kesatuan dalam keadilan bangsa yang memunculkan atau menghasilkan nilai keislaman dan kebahagiaan di dalamnya.

E.     Metodologi Penulisan Makalah
1.      Metode Penulisan
Metode penulisan merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan data, mengolah data dan menganalisa data dengan teknik tertentu. Penulis dalam pembuatan makalah ini menggunakan metodologi kulitatif yang terdiri dari metode studi pustaka dan literature. Jenis metode kulitatif merupakan jenis metode memaparkan data. Kami gunakan karena makalah yang penulis buat memberikan gambaran dan uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa adanya perlakuan terhadap objek. Diman metode kulitatif yang Penulis gunakan terdiri dari analisis data primer dan sekunder, yang data sekunder merupakan data dari metode studi pustaka dan data primer merupakan dari metode literature.
2.      Jenis Data
Makalah ini menggunakan data literatur perpustakaan yang menggunakan dua macam data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah semua literatur yang membahas tentang keadilan. Sedangkan data sekunder adalah segala buku yang relevan dengan data primer.
3.      Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam makalah ini adalah dengan metode dokumentasi. Metode ini kami gunakan dengan cara menelaah secara langsung sumber data, baik data primer maupun data sekunder baik berbentuk buku, artikel, skripsi dan sebagainya yang data tersebut relevan dengan pembahasan kami.

F.      Tinjauan Pustaka
Keadilan adalah berasal dari kata “adil” yang terambil dari bahasa Arab yakni “’adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat material. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan; 1. Tidak berat sebelah, 2. Berpihak pada kebenaran, 3. Sepatutnya tidak sewenang-sewenang.[2] Persamaan yang merupakan makana kata adil itulah yang menjadikan pelakunya ‘tidak berpihak’, dan pada dasarnya pula seorang yang adil ialah yang berpihak kepada yang benar. Karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian ia akan melakukan sesuatu yang patut lagi tidak sewenang-wenang.
Didalam al-Qur’an, persoalan keadilan dibicarakan dengat amat ragam, mulai dari Tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari kenabian hingga ke kepemimpinan dan dari individu hingga masyarakat.[3] Keadilan adalah syarat bagi kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi.
Keadilan memiliki beragam makna, dan palin tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama. Pertama, adil dalam arti “sama” yang berdasarka Q.S. An-Nisa [4]: 58. Kedua, adil dalam arti “ seimbang”. Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.[4] Artinya keadilan mengajarkan kepada manusia tentang arti persamaan derajat, dimana pembedanya hanyalah taqwa kepada Allah Swt. Keadilan dalam hal ini juga memiliki pengartian seimbang yang berarti keadilan menyeimbangi segala hal yang berat sebelah. Serta keadilan dalam al-Qur’an mengajarkan hak asasi manusia dan penerapan keadilan kepada Sang Khaliq.
Ibnu Taimiyah berpendapat “Sesungguhnya manusia tidak berselisih pendapat, bahwa dampak kedzaliman itu sangatlah buruk, sedang dampak keadilan itu adalah baik. Oleh karena itu, Allah menolong negara yang adil walaupun negara itu kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, walaupun negara itu mukmin[5]. Inilah pendapat Ibn Taimiyah tentang adil dan keadilan. Keadilan yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah ini, dinisbatkan kepada keadilan Ilahi yang dengannya mengartikan Allah sangat mencintai keadilan. Karena, dalam pandangannya negeri yang adil akan lebih di tolong oleh Allah dari segala bencana meski di dalamnya berkumpul orang-orang kafir.
Imam al-Qurtubhi menuturkan dari riwayat Ibnu Athiyah yang mengatakan bahwa adil adalah setiap hal yang di fardhukan baik akidah maupun syaria’ah.[6] Adil dalam hal ini mengartikan sikap berbuat adil adalah wajib baik itu secara akidah maupun syari’ah. Contonya ketika shalat seseorang harus khusu’ dalam munajat kepada Tuhannya dan tanpa memikirkan hal lain selainnya. Didalam syari’ah adil sangat di anjurkan baik dalam muamalah maupun di dalam kehidupan bermasyarakat.
Pandangan kaum awami (pendapat awam)yang pada dasarnya merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil “neraca hukum” yakni “takaran hak dan kewajiban”. Pandangan para ahli hukum (Purnandi Purwacaraka) yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan keseimbangan hukum.[7] Keadilan dalam pandangan awami maupun para ahli hukum memiliki persamaan, yakni sama-sama menyelaraskan keseimbangan hukum tanpa berat sebelah yang memiliki artian seimbang diantara keduanya, hak dan kewajiban.
Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Chepalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan di dapat apabila kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang.[8] Adil dalam hal ini menyangkut relasi manusia dengan manusia lainnya. Yang diantara manusia dan mausia lainnya harus ada sikap saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. Dimana tidak boleh ada kebohongan dalam segala sesuatu.
Aristoteles adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (fiat jutitia bereat mundus). Selanjutnya dia juga membagi keadilan, menjadi dua bentuk yaitu; pertama, keadilan distributtif. Kedua, keadilan korektif.[9] Keadilan menurut aristoteles ini memiliki artian dalam berbuat adil seseorang di haruskannya meletakkan sesuatu pada tempatnya yakni sesuai haknya masing-masing.
Ulpinus yang menyatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang mestinya untuknya (Iustitia ese coutaris et perpetua voluntas ius suum cuique tribuedi). Justinian yang menyatakan bahwa “Keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya”. Herber Spenser yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. Nelson menyatakan bahwa “Tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan pribadi”.[10] Mereka bertiga menyatakan hal yang sama dalam mendifinisikan keadilan yakni mereka memiliki pengertian bahwa keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat semestinya.
Jhon Rawls, seorang filsuf Amerika Serikat yang dianggap salahsatu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakn bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”.[11] Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar begitu pula pemikiran dari Jhon Rawls.
Kebanyakan orang pernyataan bahwa ketidakadilan harus dilawan dan di hukum, dan banyak gerakan sosial dan politisi seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan , memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan. Karena definisi apakah keadilan itu sendiri terkadang tidak jelas. Menurut kami keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.














BAB II
PEMBAHASAN
A.     Makna Keadilan Secara Umum
Keadilan berasal dari bahasa Arab yakni al-adl yang berarti menghukumi dengan benar atau adil[12]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil berarti setara atau seimbang atau tidak berat sebelah. Adapun menurut beberapa para ahli, keadilan itu memiliki pengertian sebagai berikut:
1.         Aristoteles, mendefinisikan keadilan di dalam bukunya Nicomachean Ethics bahwa keadilan bukanlah kesetaraan, namun keadilan adalah pembagian hak yang tidak selalu berarti kesetaraan.[13] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa definisi keadilan menurut Aristoteles berupa pembagian hak secara proporsional, dimana memiliki sebuah contoh seorang orangtua yang memiliki dua orang anak; yang satu sekolah SD, dan satunya lagi SMA. Ketika orangtua ini ingin memberi uang saku kepada keduanya tentu yang lebih besar uang sakunya anak yang SMA. Jadi dalam artian tersebut bahwa keadilan itu tidak selalu berarti kesetaraan. Adapun pembagian keadilan menurut Aristoteles tidak penulis cantumkan dalam pembahasan.
2.         Plato, mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state” dan orang yang adil sebagai “the self diciplined man whose passions are controlled by reason.”.[14] Dengan demikian pemikiran Plato dapat disimpulkan bahwa keadilan tercipta atas hadirnya keselarasan. Sebagai contoh dalam negara, walaupun keadilan tidak identik dengan negara, bahwa keselarasan itu tercipta atas fungsi dan tugas yang dilakukan masing-masing sesuai kemampuan antar individu di dalam masyarakat. Apabila telah ada keselarasan antar masyarakat satu dengan yang lain, maka akan tercipta-lah keadilan di dalam masyarakat tersebut.
3.         Dalam kebudayaan pemikiran Islam, keadilan ini tidak dapat dipisahkan dari konsep pahala dan dosa atau janji dan ancaman (ilahiah). Muktazilah meyakini bahwa manusia diberikan kehendak bebas untuk bertindak, sehingga konsekuensinya jika berbuat baik maka Allah akan memberikannya pahala dan jika sebaliknya maka Allah akan memberikannya dosa. Begitu pula dengan Syi’ah yang memahami konsep keadilan dengan pemahaman yang sama. Berbeda dengan pandangan Asy’ariyah yang menganggap manusia tidak memiliki kemerdekaan dan kehendak bebas, dengan alasan bahwa Allah tidak sekalipun dikendalikan oleh sesuatu (keadilan).[15]
4.         John Rawls, mendefinisikan keadilan secara garis besar sebagai persamaan kebebasan hak untuk memperoleh kesempatan berpolitik, beragama, berbicara, berserikat dan pers.[16]
5.         Ada pun pengertian dari Murtadha Muthahhari, yang mendefinisikan kata ‘adil’ dalam empat pola, yaitu:
a.         Adil adalah seimbang, sesuatu harus sesuai dengan proporsinya.
b.        Adil adalah persamaan dan nondiskriminasi, yang berarti tidak membenarkan adanya perlakuan yang berbeda dengan alasan ras maupun agama.
c.         Adil adalah hak dan prioritas, yang berarti bahwa adanya berbagai hak dan prioritas sebagian individu bila dibandingkan dengan sebagian yang lain, atau pun dengan alasan sesuai karakter khas individu masing-masing.
d.        Adil adalah pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan, yang berarti bahwa keadilan dipengaruhi oleh kualitas individu.[17]
Dalam konteks filsafat sebenarnya makna keadilan itu merupakan topik yang abstrak, yang lebih kepada sifat dari kata adil. Dari beberapa makna keadilan yang dikemukakan diatas, penulis sangat menyetujui pendapat dari Murtadha Muthahari. Karena pendapatnya mengenai kata adil dalam keadilan mencakup segala aspek, baik aspek ketuhanan, negara, masyarakat maupun individu itu sendiri.
Bila dilihat dalam ranah filsafat, keadilan masuk dalam ranah filsafat teoritis. Namun, apabila ditinjau lebih lanjut masalah tentang keadilan ini mengarah dan condong kepada akhlaq, yakni filsafat teoritis.

B.     Makna Keadilan Dalam Islam
Keadilan dalam pandangan Islam adalah meletakkan sesuatu sesuai tempatnya atau semestinya, sepatutnya, sewajarnya, atau “yang benar dong”. Dalam Al-Quran, keadilan sering diungkapkan dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan. Lawan dari keadilan adalah kezhaliman.[18]
Dalam Islam, keadilan berlaku secara universal, mencakup segala aktivitas dalam seluruh aspek kehidupan baik akidah, syari’ah, akhlak, bahkan cinta dan benci. Seperti yang telah di kemukakan oleh Murtadha Muthahari di penjelasan sebelumnya.
Menurut kami, orang yang adil adalah orang yang mampu meletakkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya, menurut semestinya, sewajarnya, sepantasnya, dan selurusnya. Orang yang adil orang yang mampu menempatkan segala sesuatu dalam keadaan seimbang. Seimbang dalam hal ini bukan berarti sama ratadan sama rasa. Akan tetapi, kesembangan dalam hal ini yaitumenempatkan segala sesuatu menurut hakikat keberadaannya.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai keadilan kapanpun dan dimana saja seorang muslim bertugas dan berada. Islam juga dengan lantang bahwa tegaknya atau runtuhnya suatu bangsa adalah tergantung kepada ditegakkannya atau tidakkah keadilan dalam kehidupan.[19] Dalam al-Qur’an, Allah telah menyeru kepada hamba-Nya untu senantiasa berbuat adil demi damainya kehidupan. Firman Allah dalam al-Qur’an;
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu para manusia) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”[20]
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk senantiasa; menegakkan keadilan di muka bumi ini, berbuat baik terhadap sesama, tidak bakhil (mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap sesama, mencegah perbuatan keji dan mungkar (yang dimulai dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan dunia. Menerapkan GPPS7 = Gerakan Pemahaman Pengalaman S-7 (Syahadatain, Shalat, Shadaqah, Shiyam, Silaturahim, Syukur, Sabar). Dari ayat tersebut Allah juga mengingtkan untuk mejaga bumi dari kerusakan, dan untuk selalu berzikir dan berdo’a dalam setiap perjuangan dan dalam kesibukan.
Penggabungan perintah menegakkan keadilan dengan perintah melakukan kebaikan, memberi antar sesama, serta meninggalkan perbuatan keji dan munkar. Dari beberapa hal tersebut, semua di perntahkan oleh Allah sesudah perintah untuk meneggakan kadilan. Jadi hanya orang yang adil yang dapat berbuat akan hal-hal tersebut.
Bohong, kalau ada orang yang mengaku berlaku adil, tetapi ia tidak memberikan hak kepada orang adil. Dusta, kalau ada orang orang yang mengau adil, tapi ia tak peduli kepada sesama dan nasib saudaranya. Omong kosog, kalau ada orang yang mengaku berbuat adil, tapi ia tetap melakukan perbuatan keji dan munkar. karena keadilan itu sendiri mencaku seluruh aspek perbuatan, tingkah laku.
C.     Keadilan Dalam Kehidupan Manusia
Manusia dalam Islam memilik pandangan tersendiri. Di dalam Islam manusia tdak semata-mata digambarkan sebagai hewan yang berjalan, atau hewan tingkat tinggi, yang bekukuh pipih, berjalan dengan dua kaki, dan andai berbicara. Dalam Islam manusia di jelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia jauh mengungguli alam surga, bumi, bahkan malaikat. Di dalam al-Qur’an berulang-ulang di angkat derajatnya, namun berulang-ulang pula di rendahkan keberadaannya. Oleh karen itu, manusia sendiri yang menentukan nasibnya.[21]
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna seperti dalam firman-Nya dalam QS. At-Tin ayat 4. Namun perlu ditekankan di sini bahwa kesempurnaan ini bersifat rohani. Murtadha Muthahhari membedakan antara manusia yang lengkap dan manusia sempurna dalam bukunya yang berjudul Manusia Sempurna. Manusia yang lengkap, dalam bahasa arab ialah tamam, adalah sempurna yang mengacu pada aspek lahiriah seperti anggota tubuh. Manusia sempurna, dalam bahasa arab yaitu kamil, adalah sempurna yang mengacu pada aspek rohani yakni spiritualitas dan intelektualitas.[22]
Keadilan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Tanpa keadilan manusia tidak akan hidup dalam kedamaian. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang adil, maka adil di sini dapat menjadi konsep akhlak maupun amal. Konsep amal mengartikan adil menjadi konsep lahiriah yang dengannya terlahir sebuah perbuatan, seperti perlakuan adil seorang hakim terhadap yang terdakwa sesuai dengan tingkat kejahatannya, atau bantuan sosial yang diberikan pemerintah sesuai dengan tingkat kemiskinan masyarakat miskin. Orang yang adil itu adalah orang yang mengetahui kemudian mengamalkannya.[23] Dalam konteks ini kita berbicara tentang pengetahuan yang bermanfaat.
Konsep akhlak berarti keadilan itu muncul dari dalam hati dengan keadaan spontan tanpa dibuat-buat. Manusia yang sempurna harus memiliki keadilan di dalam dirinya yang terefleksikan menjadi sebuah perbuatan. Dengan keadilan maka kehidupan akan menjadi selaras dan harmonis.
D.    Makna Budaya Islam
Kebudayaan = cultuur (bahasa belanda) = culture (bahasa inggris) berasal dari perkataan Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Menurut S.Takdir Alisyahbana dan Soerjono Soekanto arti culture adalah memelihara, mengerjakan, atau mengolah yang berkaitan dengan tanah dan lahan.[24]
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta manusia.[25] Dimana karya berupa teknologi dan kebudayaan material, yang dapat disebut dengan peradaban. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, seperti agama, ideologi, kebatinan dan kesenian. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Budaya Islami adalah budaya yang di dalam nya lebih mementingkan atau mengutamakan hukum-hukum keislamannya dari pada hukum-hukum yang dibuat dari hasil kesepakatan musyawarah sekelompok masyarakat yang tidak merujuk kepada Al-Quran dan hukum-hukum Islam. Jadi budaya islami merupakan perpaduan antara rasa dan cipta. Rasa yang bersumber dari agama dan cipta yang bersumber dari akal, yang keduanya terwujud dalam tatanan hukum dan tradisi.
Contoh ilustrasi yang kami buat misalnya, ada sekelompok masyarakat yang bermusyawarah untuk membuat suatu upacara adat baru (sebut saja namanya upacara kemenangan bersama, yang diadakan setiap 5 bulan sekali misal nya) yang di dalamnya sudah menghasilkan kesepakatan atau muncul peraturan-peraturan yang bertentangan dengan agama islam (seperti tidak boleh memakai hijab bagi perempuan atau bahkan melakukan maksiat pun tidak lagi menjadi sebuah larangan di acara itu). Peraturan tersebut bisa saja terwujud kalau yang memimpin dan anggota musyawarah itu banyak yang lebih mementingkan nafsunya dan keinginan duniawinya dibandingkan budaya keislaman yang di anut nya. Maka semua pasti akan menghasilkan dampak negatif  bagi masyarakat tersebut akibat tidak menanamkan nilai-nilai budaya atau hukum-hukum Islam di dalamnya.
Bahkan beberapa bagian daerah di Indonesia yang sering menggunakan budaya dan kebiasaan-kebiasaan orang Barat. Salah satunya yaitu berpakaian ala Barat yang sudah tidak sesuai lagi dengan budaya yang Islami, dan begitulah pengaruh negatif  kultur Barat itu, sehingga banyak kalangan, terutama anak-anak muda Islam, terjangkit penyakit mental “keblinger tafsir” : bahwa apa yang datang dan berasal dari barat adalah “modern”, segala yang datang dari dan berasal dari Barat adalah “baik”[26].

Maka menurut penulis, apabila hal-hal yang seperti itu terus berkembang dan semakin merajalela di dunia Islam khususnya di negeri kita Indonesia, maka anak-anak penerus bangsa Indonesia akan menjadi anak-anak penerus budaya Barat, dan nilai keislaman nya pun lama-kelamaan akan memudar atau akan hilang total. Na’uzubillah.

E.     Keadilan Dalam Kehidupan Manusia Berdasarkan Budaya Islam
Islam sangat mengutamakan akhlak mulia dalam melakukan segala hal, baik yang dilakukan kepada diri sendiri maupun yang dilakukan kepada orang lain atau masyarakat.
Menurut Immanuel Kant dalam buku yang ditulis oleh Murtadha Muthahari bahwa akhlak  merupakan perbuatan yang dilakukan dengan berdasarkan tanggung jawab, yang mana tanggung jawab itu lahir dari hati nurani secara spontan.[27]
Jadi, keadilan itu harus kita budayakan dalam kehidupan sehari-hari, walaupun sebenarnya keadilan yang sesungguhnya itu belum dapat dicapai atau diraih oleh seluruh masyarakat khususnya di Indonesia. Buktinya masih ada dan hampir menjadi sebuah kebiasaan baru bagi mahasiswa atau para pelajar muda di Indonesia yang melakukan demonstrasi ke kantor atau tempat yang bersangkutan, tidak lain tujuannya hanya untuk menuntut dan mengharapkan keadilan itu ada di kalangan mereka, bukan hanya di kalangan orang-orang besar atau orang-orang yang berjabatan tinggi saja.
Juga masih banyak kasus-kasus ketidakadilan di dalam pengadilan; misalnya, dulu kasus kakek-kakek yang mencuri mangga di tahan selama 5 tahun, nenek yang mencuri randu milik salahsatu perusahaan  ditahan selam 7 tahun. Akan tetapi seorang koruptor sudah di vonis di tahan selama 15 tahun tapi masih bisa jalan-jalan kemana pun yang dia inginkan. Masih banyak kasus yang berat di ringankan dan kasus ringan menjadi berat.
Maka dari beberapa kasus di atas dapat kita ambil kesimpulan seperti yang terpikirkan di benak penulis, yaitu keadilan itu sangat sulit diterapkan di Indonesia tidak lain sebabnya yaitu karena masih ada manusia-manusia yang tidak menerapkan hukum atau peraturan-peraturan yang didasari oleh agama atau makna keadilan yang sesungguhnya yang di ajarkan oleh agama Islam.
Oleh sebab itu, apabila kebiasaan-kebiasaan jelek ini terus berkembang dan tetap hidup di negara Indonesia tercinta ini, maka kita tidak akan dapat merasakan bagaimana keadilan yang didasari oleh budaya Islami itu. Begitu juga sebaliknya, apabila hukum-hukum yang tidak bermoral itu dihilangkan dan merujuk kepada hukum-hukum yang ditentukan oleh agama Islam, maka dengan izin Allah kebudayaan yang Islami (keadilan yang sesungguhnya) itu akan kita capai. Pada dasarnya agama-agama akan selalu menjunjung moral, etika dan akhlak dalam berbudaya.
Wallahu ‘alam bishowab!





BAB III
KESIMPULAN
A.     Kesimpulan
Keadilan dalam pandangan Islam adalah meletakkan sesuatu sesuai tempatnya atau semestinya, sepatutnya, sewajarnya. Keadilan adalah hal yang bersifat universal. Adil adalah seimbang, persamaan dan nondiskriminasi, hak dan prioritas, dan juga pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan. Maksudnya adalah sesuatu harus sesuai dengan proporsinya. tidak membenarkan adanya perlakuan yang berbeda dengan alasan ras maupun agama. Adil adalah hak dan prioritas, yang berarti bahwa adanya berbagai hak dan prioritas sebagian individu bila dibandingkan dengan sebagian yang lain, atau pun dengan alasan sesuai karakter khas individu masing-masing. Adil adalah pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan, yang berarti bahwa keadilan dipengaruhi oleh kualitas individu
Adil merupakan bagian dari akhlak, yang menyempurnakan manusia dari aspek rohani yang terefleksikan kepada aspek lahiriah.
Adapun Budaya Islami itu adalah budaya yang di dalamnya lebih mementingkan atau mengutamakan hukum-hukum keislamannya dari pada hukum-hukum yang dibuat dari hasil kesepakatan musyawarah sekelompok masyarakat yang tidak merujuk kepada Al-Quran dan hukum-hukum Islam.
Hubungan antara keadilan dengan Budaya Islam sangatlah erat. Kehidupan Budaya Islami tak akan berjalan harmonis tanpa adanya keadilan. Bahkan keadilan merupakan bagian dalam Budaya Islami itu sendiri. Sehingga dari  terciptanya keadilan dalam kehidupan manusia berdasarkan budaya islam, maka keadilan sesungguhnya akan terwujud dengan sendirinya.





[1] Q.S. Al-Baqarah [2]: 30
[2]  M. Quraish Shisab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), hal. 111
[3] M. Quraish Shisab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,hal. 112
[4] M. Quraish Shisab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, hal. 114-116
[5] Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fatwa, jilid VI, hal. 322
[6] Al-Qurtubhi,  al-Jami li Ahkam al-Qulr’an, jilid X, hal. 165-166
[7] A. Ridwan Halim, pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 177
[8] James Tarvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 5

[9] Rato Dominikus, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, (Surabaya: Laksbany Yustisia, 2010), hal. 64
[10] Angkasa, Filsafat Hukum: Materi Kuliah Magister Hukum , (Purwokerto: Unsoed, 2010), hal. 107-108
[11] Jhon Rawls, A Theory of Justice, (Oxford: Oup, 1999), hal. 3
12 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
  2007), hal. 257
13 Betrand Russel, History of Western Philosophy, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk. (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 235
[14] Betrand Russel, History of Western Philosophy, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk, hal. 237
[15] Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, diterjemahkan oleh Ibrahim Husain al-Habsyi (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hal. 213-215 dan 246
[16] Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern. Hal. 126
[17] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, diterjemahkan oleh Agus Effendi (Bandung: Mizan, 2009) hal. 60-65
[18] Kh. Mawardi Labay El-Shulthani, Tegakkan Keadilan: Pasti Damai dan Bahagia, (Jakarta: Al-Marwadi Prima, 2002) hal. 54
[19] Kh. Mawardi Labay El-Shulthani, Tegakkan Keadilan: Pasti Damai dan Bahagia, hal 9
[20] Q.S. An-Nahl [16]. 90
[21] Murtadha Muthahari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, (Jakarta: Mizan, 2007), hal. 25
[22] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, diterjemahkan oleh M. Hasyem
  (Jakarta: Lentera Basritama, 2003) hal. 20-21
[23] Sayid Qutbh, Keadilan Sosial dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 52 
[24] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT rosdakarya, 2004), hal. 27
[25] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,  hal. 29
[26] Faisal Ismail, Paradigma kebudayaan islam, (Bandung: Titian ilahi press, 1996) hal.23
[27] Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, diterjemahkan oleh Ibrahim Husain al-Habsyi (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003) hal. 291-295

0 komentar:

Posting Komentar