BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kalimat
tersebut merupakan salahsatu sila dari Pancasila yakni sila ke-2, yang berarti
di haruskannya seseorang memiliki sikap untuk menegakkan keadilan serta
memiliki adab dalam bertingkah laku, yang memiliki artian yakni memanusiakan
manusia. Di dalam Islam sudah menjadi hal yang wajib untuk setiap manusia menegakkan keadilan.
Karena manusia adalah seorang khalifah (pemimpin)
di muka bumi ini, sesuai dengan firman Nya:
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
“sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata,“Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan kepadanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?” Tuhan berfirman, ”Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[1]
Sebagai seorang
khalifah seorang manusia telah Allah ciptakan secara sempurna serta dilengkapi
dengan sifat-sifat yang baik dan lebih mulia dibandingkan dengan makhluk Allah
yang lainnya, seperti hewan ataupun tumbuhan. Manusia memiliki intelegentsi
yang tinggi serta dilengkapi dengan akal yang mampu berpikir secara rasio dan
memiliki kesadaran moral sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Manusia juga mampu menjadi seorang yang lebih mulia dibandingkan
malaikat, melalui karunia kemuliaan dan kecenderungan dekat kepada Tuhannya.
Melalui sifat-sifat
tersebut maka wajarlah seorang manusia mampu menjadi khalifah di muka bumi ini.
Sudah barang tentu seorang pemimpin memiliki tugas untuk menegakkan keadilan
atas apa yang ia pimpin.
Berbicara tentang
keadilan, keadilan adalah topik yang sangat komplek untuk dibahas. Karena
pembahasan keadilan dapat di tinjau dari berbagai aspek, baik aspek sosial,
budaya, ekonomi, hukum, ataupun filsafat. Maka apabila kita berbicara tentang
keadilan, pemaknaannya akan berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang
masing-masing.
Dalam makalah ini penulis tidak akan membahas
lebih jauh tentang keadilan dalam berbagai aspek. Namun penulis akan lebih
fokus memaparkan hubungan antara konsep keadilan islam dalam kehidupan manusia berdasarkan
budaya islam itu sendiri.
B.
Fokus
Permasalahan
Dalam kehidupan ini, semua orang akan menuntut
keadilan dalam hidupnya, maka apabila seseorang ingin terwujud keadilan di
dalam hidupnya. Melalui dasar al-Qur’anlanh keadilan sesungguhnya akan
terwujud.
Maka dalam makalah kami akan fokus membahas
keadilan islam dalam kehidupan manusia berdasarkan budaya islam itu sendiri
C.
Rumusan
Masalah
1. Apa makna keadilan secara umum?
2.
Apa makna keadilan dalam konsep
Islam?
3.
Apa makna keadilan dalam kehidupan
manusia?
4.
Apa makna budaya Islam?
5.
Apa relasinya antara keadilan dalam
kehidupan manusia berdasarkan budaya islam?
D.
Tujuan dan
Manfaat Penulisan Makalah
Tujuan penulisan
makalah ini sebagai berikut:
1.
Mengetahui makna keadilan secara
umum.
2.
Mengetahui makna keadilan dalam
Islam dan dampak bagi kehidupan manusia.
3.
Mengetahui makna budaya islam dan
relasinya dengan keadilan dalam kehidupan manusia
Manfaat
penulisan makalah ini:
1.
Mendapatkan
wawasan yang lebih mendalam mengenai keadilan, agar mampu mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
2.
Bisa memaknai
secara mandiri tentang keadilan-keadilan di dalam berbudaya, khususnya budaya
yang islami.
3.
Mampu memikirkan
dan mengeluarkan pendapat tentang bagaimana seharusnya keadilan itu dapat terwujud.
4.
Menjadikan
hukum-hukum agama itu sebagai suatu kesatuan dalam keadilan bangsa yang
memunculkan atau menghasilkan nilai keislaman dan kebahagiaan di dalamnya.
E.
Metodologi
Penulisan Makalah
1.
Metode Penulisan
Metode penulisan
merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan data, mengolah
data dan menganalisa data dengan teknik tertentu. Penulis dalam pembuatan makalah ini
menggunakan metodologi kulitatif yang terdiri dari metode studi pustaka dan literature. Jenis metode kulitatif merupakan jenis metode memaparkan
data. Kami gunakan karena makalah yang penulis buat memberikan gambaran dan
uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa adanya perlakuan terhadap
objek. Diman metode kulitatif yang Penulis gunakan terdiri dari analisis data
primer dan sekunder, yang data sekunder merupakan data dari metode studi
pustaka dan data primer merupakan dari metode literature.
2. Jenis Data
Makalah ini
menggunakan data literatur perpustakaan yang menggunakan dua macam data yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer adalah semua literatur yang membahas
tentang keadilan. Sedangkan data sekunder adalah segala buku yang relevan
dengan data primer.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan
data dalam makalah ini adalah dengan metode dokumentasi. Metode ini kami
gunakan dengan cara menelaah secara langsung sumber data, baik data primer
maupun data sekunder baik berbentuk buku, artikel, skripsi dan sebagainya yang
data tersebut relevan dengan pembahasan kami.
F.
Tinjauan
Pustaka
Keadilan adalah
berasal dari kata “adil” yang terambil dari bahasa Arab yakni “’adl”.
Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti
“sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat
material. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan; 1.
Tidak berat sebelah, 2. Berpihak pada kebenaran, 3. Sepatutnya tidak
sewenang-sewenang.[2]
Persamaan yang merupakan makana kata adil itulah yang menjadikan pelakunya
‘tidak berpihak’, dan pada dasarnya pula seorang yang adil ialah yang berpihak
kepada yang benar. Karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus
memperoleh haknya. Dengan demikian ia akan melakukan sesuatu yang patut lagi
tidak sewenang-wenang.
Didalam al-Qur’an,
persoalan keadilan dibicarakan dengat amat ragam, mulai dari Tauhid sampai
keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari kenabian hingga ke kepemimpinan dan
dari individu hingga masyarakat.[3]
Keadilan adalah syarat bagi kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat,
dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi.
Keadilan memiliki
beragam makna, dan palin tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh
para pakar agama. Pertama, adil dalam arti “sama” yang berdasarka Q.S.
An-Nisa [4]: 58. Kedua, adil dalam arti “ seimbang”. Ketiga, adil
adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.[4] Artinya keadilan mengajarkan kepada manusia
tentang arti persamaan derajat, dimana pembedanya hanyalah taqwa kepada Allah
Swt. Keadilan dalam hal ini juga memiliki pengartian seimbang yang berarti
keadilan menyeimbangi segala hal yang berat sebelah. Serta keadilan dalam
al-Qur’an mengajarkan hak asasi manusia dan penerapan keadilan kepada Sang
Khaliq.
Ibnu Taimiyah
berpendapat “Sesungguhnya manusia tidak berselisih pendapat, bahwa dampak
kedzaliman itu sangatlah buruk, sedang dampak keadilan itu adalah baik. Oleh
karena itu, Allah menolong negara yang adil walaupun negara
itu kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, walaupun negara itu mukmin”[5].
Inilah pendapat Ibn Taimiyah tentang adil dan keadilan. Keadilan yang
disampaikan oleh Ibn Taimiyah ini, dinisbatkan kepada keadilan Ilahi yang
dengannya mengartikan Allah sangat mencintai keadilan. Karena, dalam pandangannya negeri yang adil
akan lebih di tolong oleh Allah dari segala bencana meski di dalamnya berkumpul
orang-orang kafir.
Imam al-Qurtubhi
menuturkan dari riwayat Ibnu Athiyah yang mengatakan bahwa “adil
adalah setiap hal yang di fardhukan baik akidah maupun syaria’ah.”[6] Adil dalam hal ini mengartikan sikap berbuat
adil adalah wajib baik itu secara akidah maupun syari’ah. Contonya ketika
shalat seseorang harus khusu’ dalam munajat kepada Tuhannya dan tanpa
memikirkan hal lain selainnya. Didalam syari’ah adil sangat di anjurkan baik
dalam muamalah maupun di dalam kehidupan bermasyarakat.
Pandangan kaum awami
(pendapat awam)yang pada dasarnya merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan
keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban
selaras dengan dalil “neraca hukum” yakni “takaran hak dan kewajiban”.
Pandangan para ahli hukum (Purnandi Purwacaraka) yang pada dasarnya merumuskan
bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan keseimbangan
hukum.[7] Keadilan dalam pandangan awami maupun para
ahli hukum memiliki persamaan, yakni sama-sama menyelaraskan keseimbangan hukum
tanpa berat sebelah yang memiliki artian seimbang diantara keduanya, hak dan
kewajiban.
Penjelasan tentang
tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Chepalus.
Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan di dapat apabila kita
melakukan tindakan tidak berbohong dan curang.[8]
Adil dalam hal ini menyangkut relasi manusia dengan manusia lainnya. Yang diantara manusia dan mausia lainnya
harus ada sikap saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. Dimana tidak
boleh ada kebohongan dalam segala sesuatu.
Aristoteles adalah
seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa
keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (fiat
jutitia bereat mundus). Selanjutnya dia juga membagi keadilan, menjadi dua bentuk yaitu; pertama,
keadilan distributtif. Kedua, keadilan korektif.[9] Keadilan menurut aristoteles ini memiliki
artian dalam berbuat adil seseorang di haruskannya meletakkan sesuatu pada
tempatnya yakni sesuai haknya masing-masing.
Ulpinus yang
menyatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus
untuk memberikan kepada setiap orang apa yang mestinya untuknya (Iustitia
ese coutaris et perpetua voluntas ius suum cuique tribuedi). Justinian yang
menyatakan bahwa “Keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa
setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya”. Herber Spenser
yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan
dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain.
Nelson menyatakan bahwa “Tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan
pribadi”.[10] Mereka bertiga menyatakan hal yang sama dalam
mendifinisikan keadilan yakni mereka memiliki pengertian bahwa keadilan adalah
meletakkan sesuatu pada tempat semestinya.
Jhon Rawls, seorang
filsuf Amerika Serikat yang dianggap salahsatu filsuf politik terkemuka abad
ke-20, menyatakn bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama
dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”.[11] Keadilan
adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori keadilan memiliki
tingkat kepentingan yang besar begitu pula pemikiran dari Jhon Rawls.
Kebanyakan orang
pernyataan bahwa ketidakadilan harus dilawan dan di hukum,
dan banyak gerakan sosial dan politisi seluruh dunia yang berjuang menegakkan
keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan , memberikan
pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita
ketidakadilan. Karena definisi apakah keadilan itu sendiri terkadang tidak
jelas. Menurut kami keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Keadilan
Secara Umum
Keadilan berasal dari bahasa Arab yakni al-adl yang berarti menghukumi dengan benar atau adil[12].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil
berarti setara atau seimbang atau tidak berat sebelah. Adapun menurut beberapa para
ahli, keadilan itu memiliki pengertian sebagai berikut:
1.
Aristoteles, mendefinisikan
keadilan di dalam bukunya Nicomachean
Ethics bahwa keadilan bukanlah kesetaraan, namun keadilan adalah pembagian
hak yang tidak selalu berarti kesetaraan.[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa definisi keadilan menurut Aristoteles
berupa pembagian hak secara proporsional, dimana memiliki sebuah contoh seorang
orangtua yang memiliki dua orang anak; yang satu sekolah SD, dan satunya lagi
SMA. Ketika orangtua ini ingin memberi uang saku kepada keduanya tentu yang
lebih besar uang sakunya anak yang SMA. Jadi dalam artian tersebut bahwa
keadilan itu tidak selalu berarti kesetaraan. Adapun pembagian keadilan menurut
Aristoteles tidak penulis cantumkan dalam pembahasan.
2.
Plato, mendefinisikan keadilan
sebagai “the supreme virtue of the good
state” dan orang yang adil sebagai “the
self diciplined man whose passions are controlled by reason.”.[14]
Dengan demikian pemikiran Plato dapat disimpulkan bahwa keadilan tercipta
atas hadirnya keselarasan. Sebagai contoh dalam negara, walaupun keadilan tidak
identik dengan negara, bahwa keselarasan itu tercipta atas fungsi dan tugas
yang dilakukan masing-masing sesuai kemampuan antar individu di dalam
masyarakat. Apabila telah ada keselarasan antar masyarakat satu dengan yang
lain, maka akan tercipta-lah keadilan di dalam masyarakat tersebut.
3.
Dalam kebudayaan
pemikiran Islam, keadilan ini tidak dapat dipisahkan dari konsep pahala dan
dosa atau janji dan ancaman (ilahiah). Muktazilah meyakini bahwa manusia
diberikan kehendak bebas untuk bertindak, sehingga konsekuensinya jika berbuat
baik maka Allah akan memberikannya pahala dan jika sebaliknya maka Allah akan
memberikannya dosa. Begitu pula dengan Syi’ah yang memahami konsep keadilan
dengan pemahaman yang sama. Berbeda dengan pandangan Asy’ariyah yang menganggap
manusia tidak memiliki kemerdekaan dan kehendak bebas, dengan alasan bahwa
Allah tidak sekalipun dikendalikan oleh sesuatu (keadilan).[15]
4.
John Rawls,
mendefinisikan keadilan secara garis besar sebagai persamaan kebebasan hak
untuk memperoleh kesempatan berpolitik, beragama, berbicara, berserikat dan
pers.[16]
5.
Ada pun
pengertian dari Murtadha Muthahhari, yang mendefinisikan kata ‘adil’ dalam
empat pola, yaitu:
a.
Adil adalah
seimbang, sesuatu harus sesuai dengan proporsinya.
b.
Adil adalah
persamaan dan nondiskriminasi, yang berarti tidak membenarkan adanya perlakuan
yang berbeda dengan alasan ras maupun agama.
c.
Adil adalah hak
dan prioritas, yang berarti bahwa adanya berbagai hak dan prioritas sebagian
individu bila dibandingkan dengan sebagian yang lain, atau pun dengan alasan
sesuai karakter khas individu masing-masing.
d.
Adil adalah
pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan, yang berarti bahwa keadilan
dipengaruhi oleh kualitas individu.[17]
Dalam konteks filsafat sebenarnya makna
keadilan itu merupakan topik yang abstrak, yang lebih kepada sifat dari kata
adil. Dari beberapa makna keadilan yang dikemukakan diatas, penulis sangat
menyetujui pendapat dari Murtadha Muthahari. Karena pendapatnya mengenai kata
adil dalam keadilan mencakup segala aspek, baik aspek ketuhanan, negara,
masyarakat maupun individu itu sendiri.
Bila dilihat dalam ranah filsafat,
keadilan masuk dalam ranah filsafat teoritis. Namun, apabila ditinjau lebih
lanjut masalah tentang keadilan ini mengarah dan condong kepada akhlaq, yakni
filsafat teoritis.
B. Makna Keadilan Dalam
Islam
Keadilan dalam pandangan Islam adalah
meletakkan sesuatu sesuai tempatnya atau semestinya, sepatutnya, sewajarnya,
atau “yang benar dong”. Dalam Al-Quran, keadilan sering diungkapkan dengan
kata-kata al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan. Lawan dari
keadilan adalah kezhaliman.[18]
Dalam Islam, keadilan berlaku secara
universal, mencakup segala aktivitas dalam seluruh aspek kehidupan baik akidah,
syari’ah, akhlak, bahkan cinta dan benci. Seperti yang telah di kemukakan oleh
Murtadha Muthahari di penjelasan sebelumnya.
Menurut kami, orang yang adil adalah
orang yang mampu meletakkan
segala sesuatu sesuai dengan tempatnya, menurut semestinya, sewajarnya,
sepantasnya, dan selurusnya. Orang yang adil orang yang mampu menempatkan
segala sesuatu dalam keadaan seimbang. Seimbang dalam hal ini bukan berarti
sama ratadan sama rasa. Akan tetapi, kesembangan dalam hal ini yaitumenempatkan
segala sesuatu menurut hakikat keberadaannya.
Islam adalah agama yang sangat
menjunjung tinggi nilai keadilan kapanpun dan dimana saja seorang muslim
bertugas dan berada. Islam juga dengan lantang bahwa tegaknya atau runtuhnya
suatu bangsa adalah tergantung kepada ditegakkannya atau tidakkah keadilan
dalam kehidupan.[19]
Dalam al-Qur’an, Allah telah menyeru kepada hamba-Nya untu senantiasa berbuat
adil demi damainya kehidupan. Firman Allah dalam al-Qur’an;
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu para manusia) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”[20]
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah
memerintahkan kepada umat manusia untuk senantiasa; menegakkan keadilan di muka
bumi ini, berbuat baik terhadap sesama, tidak bakhil (mempunyai solidaritas
yang tinggi terhadap sesama, mencegah perbuatan keji dan mungkar (yang dimulai
dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan dunia. Menerapkan
GPPS7 = Gerakan Pemahaman Pengalaman S-7 (Syahadatain,
Shalat, Shadaqah, Shiyam, Silaturahim, Syukur, Sabar). Dari ayat tersebut
Allah juga mengingtkan untuk mejaga bumi dari kerusakan, dan untuk selalu
berzikir dan berdo’a dalam setiap perjuangan dan dalam kesibukan.
Penggabungan perintah menegakkan
keadilan dengan perintah melakukan kebaikan, memberi antar sesama, serta
meninggalkan perbuatan keji dan munkar. Dari beberapa hal tersebut, semua di
perntahkan oleh Allah sesudah perintah untuk meneggakan kadilan. Jadi hanya
orang yang adil yang dapat berbuat akan hal-hal tersebut.
Bohong, kalau ada orang yang mengaku
berlaku adil, tetapi ia tidak memberikan hak kepada orang adil. Dusta, kalau
ada orang orang yang mengau adil, tapi ia tak peduli kepada sesama dan nasib
saudaranya. Omong kosog, kalau ada orang yang mengaku berbuat adil, tapi ia
tetap melakukan perbuatan keji dan munkar. karena keadilan itu sendiri mencaku
seluruh aspek perbuatan, tingkah laku.
C. Keadilan Dalam
Kehidupan Manusia
Manusia dalam Islam memilik pandangan
tersendiri. Di dalam Islam manusia tdak semata-mata digambarkan sebagai hewan
yang berjalan, atau hewan tingkat tinggi, yang bekukuh pipih, berjalan dengan
dua kaki, dan andai berbicara. Dalam Islam manusia di jelaskan dalam al-Qur’an
bahwa manusia jauh mengungguli alam surga, bumi, bahkan malaikat. Di dalam
al-Qur’an berulang-ulang di angkat derajatnya, namun berulang-ulang pula di
rendahkan keberadaannya. Oleh karen itu, manusia sendiri yang menentukan
nasibnya.[21]
Manusia merupakan makhluk yang paling
sempurna seperti dalam firman-Nya dalam QS. At-Tin ayat 4. Namun perlu
ditekankan di sini bahwa kesempurnaan ini bersifat rohani. Murtadha Muthahhari
membedakan antara manusia yang lengkap dan manusia sempurna dalam bukunya yang
berjudul Manusia Sempurna. Manusia
yang lengkap, dalam bahasa arab ialah tamam,
adalah sempurna yang mengacu pada aspek lahiriah seperti anggota tubuh. Manusia
sempurna, dalam bahasa arab yaitu kamil, adalah
sempurna yang mengacu pada aspek rohani yakni spiritualitas dan
intelektualitas.[22]
Keadilan sangat berpengaruh dalam
kehidupan manusia. Tanpa keadilan manusia tidak akan hidup dalam kedamaian. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
adil, maka adil di sini dapat menjadi konsep akhlak maupun amal. Konsep amal
mengartikan adil menjadi konsep lahiriah yang dengannya terlahir sebuah
perbuatan, seperti perlakuan adil seorang hakim terhadap yang terdakwa sesuai
dengan tingkat kejahatannya, atau bantuan sosial yang diberikan pemerintah
sesuai dengan tingkat kemiskinan masyarakat miskin. Orang yang adil itu adalah
orang yang mengetahui kemudian mengamalkannya.[23]
Dalam konteks ini kita berbicara tentang pengetahuan yang bermanfaat.
Konsep akhlak berarti keadilan itu muncul
dari dalam hati dengan keadaan spontan tanpa dibuat-buat. Manusia yang sempurna
harus memiliki keadilan di dalam dirinya yang terefleksikan menjadi sebuah
perbuatan. Dengan keadilan maka kehidupan akan menjadi selaras dan harmonis.
D.
Makna
Budaya Islam
Kebudayaan = cultuur (bahasa belanda) =
culture (bahasa inggris) berasal dari perkataan Latin colere yang
berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah
tanah atau bertani. Menurut S.Takdir Alisyahbana dan Soerjono Soekanto arti culture
adalah memelihara, mengerjakan, atau mengolah yang berkaitan dengan tanah dan
lahan.[24]
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta manusia.[25]
Dimana karya berupa teknologi dan kebudayaan material, yang dapat disebut
dengan peradaban. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala
kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan, seperti agama, ideologi, kebatinan dan kesenian. Cipta
merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup dalam
masyarakat yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Budaya Islami adalah budaya yang di
dalam nya lebih mementingkan atau mengutamakan hukum-hukum keislamannya dari
pada hukum-hukum yang dibuat dari hasil kesepakatan musyawarah sekelompok
masyarakat yang tidak merujuk kepada Al-Quran dan hukum-hukum Islam. Jadi
budaya islami merupakan perpaduan antara rasa dan cipta. Rasa yang bersumber
dari agama dan cipta yang bersumber dari akal, yang keduanya terwujud dalam
tatanan hukum dan tradisi.
Contoh ilustrasi yang kami buat
misalnya, ada sekelompok masyarakat yang bermusyawarah untuk membuat suatu
upacara adat baru (sebut saja namanya upacara kemenangan bersama, yang diadakan
setiap 5 bulan sekali misal nya) yang di dalamnya sudah menghasilkan
kesepakatan atau muncul peraturan-peraturan yang bertentangan dengan agama
islam (seperti tidak boleh memakai hijab bagi perempuan atau bahkan melakukan
maksiat pun tidak lagi menjadi sebuah larangan di acara itu). Peraturan
tersebut bisa saja terwujud kalau yang memimpin dan anggota musyawarah itu
banyak yang lebih mementingkan nafsunya dan keinginan duniawinya dibandingkan
budaya keislaman yang di anut nya. Maka semua pasti akan menghasilkan dampak negatif
bagi masyarakat tersebut akibat tidak
menanamkan nilai-nilai budaya atau hukum-hukum Islam di dalamnya.
Bahkan beberapa bagian daerah di
Indonesia yang sering menggunakan budaya dan kebiasaan-kebiasaan orang Barat.
Salah satunya yaitu berpakaian ala Barat yang sudah tidak sesuai lagi dengan
budaya yang Islami, dan begitulah pengaruh negatif kultur Barat itu, sehingga banyak kalangan,
terutama anak-anak muda Islam, terjangkit penyakit mental “keblinger tafsir” :
bahwa apa yang datang dan berasal dari barat adalah “modern”, segala yang
datang dari dan berasal dari Barat adalah “baik”[26].
Maka menurut penulis, apabila hal-hal
yang seperti itu terus berkembang dan semakin merajalela di dunia Islam
khususnya di negeri kita Indonesia, maka anak-anak penerus bangsa Indonesia
akan menjadi anak-anak penerus budaya Barat, dan nilai keislaman nya pun
lama-kelamaan akan memudar atau akan hilang total. Na’uzubillah.
E. Keadilan Dalam
Kehidupan Manusia Berdasarkan Budaya Islam
Islam sangat mengutamakan akhlak mulia
dalam melakukan segala hal, baik yang dilakukan kepada diri sendiri maupun yang
dilakukan kepada orang lain atau masyarakat.
Menurut Immanuel Kant dalam buku yang
ditulis oleh Murtadha Muthahari bahwa akhlak
merupakan perbuatan yang dilakukan dengan berdasarkan tanggung jawab,
yang mana tanggung jawab itu lahir dari hati nurani secara spontan.[27]
Jadi, keadilan itu harus kita budayakan
dalam kehidupan sehari-hari, walaupun sebenarnya keadilan yang sesungguhnya itu
belum dapat dicapai atau diraih oleh seluruh masyarakat khususnya di Indonesia.
Buktinya masih ada dan hampir menjadi sebuah kebiasaan baru bagi mahasiswa atau
para pelajar muda di Indonesia yang melakukan demonstrasi ke kantor atau tempat
yang bersangkutan, tidak lain tujuannya hanya untuk menuntut dan mengharapkan
keadilan itu ada di kalangan mereka, bukan hanya di kalangan orang-orang besar
atau orang-orang yang berjabatan tinggi saja.
Juga masih banyak kasus-kasus ketidakadilan
di dalam pengadilan; misalnya, dulu kasus kakek-kakek yang mencuri mangga di
tahan selama 5 tahun, nenek yang mencuri randu milik salahsatu perusahaan ditahan selam 7 tahun. Akan tetapi seorang
koruptor sudah di vonis di tahan selama 15 tahun tapi masih bisa jalan-jalan
kemana pun yang dia inginkan. Masih banyak kasus yang berat di ringankan dan
kasus ringan menjadi berat.
Maka dari beberapa kasus di atas dapat
kita ambil kesimpulan seperti yang terpikirkan di benak penulis, yaitu keadilan
itu sangat sulit diterapkan di Indonesia tidak lain sebabnya yaitu karena masih
ada manusia-manusia yang tidak menerapkan hukum atau peraturan-peraturan yang
didasari oleh agama atau makna keadilan yang sesungguhnya yang di ajarkan oleh
agama Islam.
Oleh sebab itu, apabila
kebiasaan-kebiasaan jelek ini terus berkembang dan tetap hidup di negara Indonesia
tercinta ini, maka kita tidak akan dapat merasakan bagaimana keadilan yang
didasari oleh budaya Islami itu. Begitu juga sebaliknya, apabila hukum-hukum
yang tidak bermoral itu dihilangkan dan merujuk kepada hukum-hukum yang
ditentukan oleh agama Islam, maka dengan izin Allah kebudayaan yang Islami
(keadilan yang sesungguhnya) itu akan kita capai. Pada dasarnya agama-agama
akan selalu menjunjung moral, etika dan akhlak dalam berbudaya.
Wallahu
‘alam bishowab!
BAB
III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Keadilan dalam pandangan Islam adalah
meletakkan sesuatu sesuai tempatnya atau semestinya, sepatutnya, sewajarnya.
Keadilan adalah hal yang bersifat universal. Adil adalah seimbang, persamaan
dan nondiskriminasi, hak dan prioritas, dan juga pelimpahan wujud berdasarkan
tingkat dan kelayakan. Maksudnya adalah sesuatu harus sesuai dengan
proporsinya. tidak membenarkan adanya perlakuan yang berbeda dengan alasan ras
maupun agama. Adil adalah hak dan prioritas, yang berarti bahwa adanya berbagai
hak dan prioritas sebagian individu bila dibandingkan dengan sebagian yang
lain, atau pun dengan alasan sesuai karakter khas individu masing-masing. Adil
adalah pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan, yang berarti bahwa
keadilan dipengaruhi oleh kualitas individu
Adil merupakan bagian dari akhlak, yang
menyempurnakan manusia dari aspek rohani yang terefleksikan kepada aspek
lahiriah.
Adapun Budaya Islami itu adalah budaya
yang di dalamnya lebih mementingkan atau mengutamakan hukum-hukum keislamannya
dari pada hukum-hukum yang dibuat dari hasil kesepakatan musyawarah sekelompok
masyarakat yang tidak merujuk kepada Al-Quran dan hukum-hukum Islam.
Hubungan antara keadilan dengan Budaya Islam
sangatlah erat. Kehidupan Budaya Islami tak akan berjalan harmonis tanpa adanya
keadilan. Bahkan keadilan merupakan bagian dalam Budaya Islami itu sendiri.
Sehingga dari terciptanya keadilan dalam
kehidupan manusia berdasarkan budaya islam, maka keadilan sesungguhnya akan
terwujud dengan sendirinya.
[2] M. Quraish Shisab, Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), hal.
111
[4] M. Quraish Shisab, Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, hal. 114-116
[7]
A. Ridwan Halim, pengantar Ilmu Hukum Dalam
Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 177
[9] Rato Dominikus, Filsafat Hukum: Mencari,
Menemukan dan Memahami Hukum, (Surabaya: Laksbany Yustisia, 2010), hal. 64
[10] Angkasa, Filsafat Hukum: Materi Kuliah
Magister Hukum , (Purwokerto: Unsoed, 2010), hal. 107-108
[15] Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, diterjemahkan oleh Ibrahim Husain
al-Habsyi (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hal. 213-215 dan 246
[16] Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik sampai
Pemikiran Modern. Hal. 126
[17] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, diterjemahkan oleh Agus
Effendi (Bandung: Mizan, 2009) hal. 60-65
[18] Kh. Mawardi Labay El-Shulthani, Tegakkan Keadilan: Pasti Damai dan Bahagia,
(Jakarta: Al-Marwadi Prima, 2002) hal. 54
[22] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, diterjemahkan oleh M. Hasyem
(Jakarta: Lentera Basritama, 2003) hal. 20-21
[24] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT rosdakarya, 2004), hal.
27
[27] Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, diterjemahkan oleh Ibrahim Husain
al-Habsyi (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003) hal. 291-295
0 komentar:
Posting Komentar